Pada beberapa tahun terakhir, terjadi kenaikan jumlah klinik kecantikan di Indonesia. Sebanyak 60% klinik kecantikan berhasil mengantongi izin usaha pada periode 2020-2025. Hal tersebut merupakan suatu peningkatan yang signifikan, mengingat semakin tingginya kesadaran masyarakat terhadap perawatan estetika dan kesehatan kulit. Kini, klinik kecantikan tidak hanya dipandang sebagai layanan kosmetik, namun lebih dari itu.
Klinik kecantikan yang memberikan layanan kesehatan menjadi bagian dari pelayanan kesehatan yang memiliki risiko medis yang mana jika tidak dilaksanakan sesuai standar, maka berisiko dikenakan sanksi hukum. Maka dari itu, sudah sepatutnya negara menghadirkan sistem hukum kesehatan untuk memastikan bahwa operasional klinik kecantikan tetap berada pada jalurnya dan dilaksanakan secara aman, profesional, serta bertanggung jawab.
Standar Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
Setiap tindakan yang diambil dalam upaya penyelenggaraan kesehatan kerap kali memiliki risiko, sehingga segala tindakan medis yang dibutuhkan hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga medis dan/atau tenaga kesehatan yang berkompeten di bidangnya, memiliki kewenangan, serta izin praktik yang sah.
Dalam memenuhi standar kompetensi tenaga medis dan/atau tenaga kesehatan, pemerintah turut berperan andil dan bertanggung jawab untuk membentuk regulasi, membina, mengawasi, serta meningkatkan mutu tenaga medis dan/atau tenaga kesehatan sebagaimana hal tersebut telah tercantum dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Kemudian, dalam Pasal 16 UU Kesehatan menyebutkan bahwa:
“Dalam rangka mendukung pelaksanaan pembinaan, pengawasan, serta peningkatan mutu dan kompetensi tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, Pemerintah Pusat dibantu oleh Konsil dan/atau Kolegium.”
Berdasarkan pasal di atas, maka dapat diketahui bahwa antara Pemerintah Pusat, Konsil, serta Kolegium saling bekerja sama dan berkontribusi demi terselenggaranya pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau bagi masyarakat.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2025 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Standar Produk/Jasa Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Subsektor Kesehatan (“Permenkes 11/2025”) telah mengklasifikasikan kegiatan usaha klinik kecantikan sebagai bagian dari sektor kesehatan berbasis risiko. Artinya, setiap jenis layanan yang diberikan harus tetap disesuaikan dengan tingkat risiko medis yang ditimbulkan, termasuk persyaratan tenaga medis yang terlibat. Sebagai contohnya adalah terapis kecantikan tanpa latar belakang pendidikan kesehatan tidak diperkenankan melakukan tindakan yang bersifat medis atau menimbulkan risiko kesehatan bagi pasien.
Pada praktiknya, kedua regulasi tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya malpraktik, penyalahgunaan alat medis, serta tindakan estetika yang dilakukan tanpa dasar kompetensi yang memadai. Dengan demikian, keberadaan tenaga medis dan/atau tenaga kesehatan yang memenuhi standar hukum merupakan indikator utama legalitas dan kualitas layanan klinik kecantikan di Indonesia.
Kewajiban Izin Operasional
Selain standar tenaga kesehatan yang kompeten, indikator lain yang termasuk ke dalam aspek krusial lainnya pada penyelenggaraan klinik kecantikan adalah mengenai kewajiban perizinan operasional. Secara eksplisit, dalam Pasal 165 UU Kesehatan telah menjelaskan bahwa setiap fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki izin berusaha. Kewajiban perizinan berusaha pun dipertegas melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 28/2025”).
Menurut Pasal 1 angka 3 PP 28/2025, definisi terkait perizinan berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Dalam pasal tersebut telah dijelaskan bahwa setiap pelaku usaha wajib mengantongi perizinan berusaha sebelum menjalankan operasional bisnisnya. Hal tersebut pun dipertegas kembali dalam Pasal 4 yata (1) PP 28/2025 yang menyatakan bahwa:
“Untuk melakukan kegiatan usaha, pelaku usaha wajib memiliki perizinan berusaha.”
Berdasarkan Pasal 128 ayat (1) PP 28/2025, tingkat risiko dan peringkat skala kegiatan usaha terbagi atas 3 klasifikasi, yakni kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah, menengah, dan tinggi. Semakin tinggi risiko layanan yang diberikan, maka semakin ketat pula persyaratan perizinan yang harus dipenuhi. Pada kegiatan usaha klinik kecantikan, klasifikasi risiko tersebut dapat ditentukan berdasarkan pemenuhan standar bangunan, peralatan medis, sistem sanitasi, serta prosedur keselamatan pasien. Dalam hal ini, izin operasional tidak hanya bersifat administratif, melainkan juga menjadi instrumen pengawasan negara terhadap mutu pelayanan kesehatan.
Pada PP 28/2025 mengenal istilah klasifikasi baku lapangan usaha indonesia (KBLI) yang berarti kode klasifikasi yang diatur oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang statistik. Dalam hal ini, kode KBLI berfungsi sebagai identifikasi standar jenis kegiatan usaha, dasar kualifikasi, serta menjadi dasar utama untuk pengurusan legalitas dan perizinan berusaha. Pada Permenkes 11/2025, klinik kecantikan termasuk ke dalam kategori aktivitas klinik swasta dengan kode KBLI: 86105.
Baca juga: Aspek Hukum Klinik Kecantikan terhadap Pasien
Sanksi bagi Praktik Klinik Kecantikan Ilegal
Dasar hukum mengenai klinik kecantikan tidak hanya berhenti pada aspek preventif, tetapi juga mencakup sanksi bagi pelanggaran yang dilakukan. Tindakan ilegal mencakup berbagai aspek, beberapa diantaranya adalah mempekerjakan tenaga medis dan/atau tenaga kesehatan tanpa izin praktik dan melakukan pelanggaran terhadap izin operasional.
Pada Pasal 173 ayat (3) UU Kesehatan telah memberikan larangan untuk mempekerjakan tenaga medis dan tenaga kesehatan yang tidak memiliki izin praktik bagi fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk klinik kecantikan. Artinya, hanya tenaga medis dan tenaga kesehatan yang memiliki izin praktik yang dapat memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat, khususnya terhadap tindakan yang dapat menimbulkan risiko medis. Apabila melanggar ketentuan tersebut, maka akan berisiko dikenakan sanksi pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 442 UU Kesehatan.
Tidak hanya diatur dalam UU Kesehatan, apabila tindakan pemberian layanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis dan/atau tenaga kesehatan menyebabkan luka, gangguan kesehatan, atau bahkan kematian, maka pelaku dapat dijerat dengan ketentuan pidana sesuai Pasal 474 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Adapun jika tindakan tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban melaksanakan mata pencaharian atau profesi, maka sanksi pidana yang diberikan bertambah ⅓ (satu per tiga).
Tindakan melakukan kegiatan usaha namun tidak memiliki perizinan berusaha (PB) dan/atau perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha (PB UMKU) subsektor kesehatan termasuk sebagai salah satu pelanggaran yang berisiko dikenakan sanksi administratif sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) huruf d Permenkes 11/2025. Kemudian, hal tersebut pun dipertegas melalui Pasal 26 ayat (1) Permenkes 11/2025 yang menyatakan bahwa:
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan PB dan/atau PB UMKU subsektor kesehatan berdasarkan hasil pengawasan, dikenai sanksi administratif.”
Adapun sanksi administratif yang diberikan dapat berupa peringatan, penghentian sementara kegiatan usaha, pengenaan denda administratif, pengenaan daya paksa polisional dan/atau pencabutan perizinan berusaha dan/atau perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha subsektor kesehatan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28 ayat (4) Permenkes 11/2025.
Selain dapat dikenakan sanksi administratif maupun sanksi pidana, praktik tanpa izin juga dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan konsumen, sehingga konsumen yang merasa mendapat kerugian dari adanya praktik klinik kecantikan tanpa izin dapat mengajukan gugatan perdata sebagaimana tertera dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Dalam hal ini, pasien bertindak sebagai konsumen dan berhak memperoleh layanan kesehatan yang aman dan sesuai standar. Dengan demikian, penegakan sanksi terhadap klinik kecantikan ilegal merupakan bentuk perlindungan hukum yang sejalan dengan prinsip keselamatan pasien dan kepastian hukum dalam sektor kesehatan.
Hingga saat ini, sistem hukum Indonesia telah mengatur standar operasional klinik kecantikan secara komprehensif, khususnya mengenai ketentuan standar tenaga medis dan tenaga kesehatan, kewajiban perizinan operasional, serta mekanisme sanksi bagi setiap tindakan pelanggaran. Dasar hukum berupa UU Kesehatan dan Permenkes 11/2025 telah menempatkan klinik kecantikan sebagai bagian dari fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak dapat dipisahkan dari prinsip keselamatan pasien dan profesionalisme medis. Tersedianya regulasi yang saling mendukung menjadi bentuk komitmen negara dalam melakukan upaya untuk memastikan bahwa setiap layanan kecantikan diselenggarakan secara legal, aman, dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap regulasi menjadi kunci utama bagi keberlangsungan usaha klinik kecantikan sekaligus sebagai perlindungan hukum bagi masyarakat.***
Baca juga: Bolehkah Klinik Kesehatan Dijadikan Waralaba?
Daftar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”)
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”)
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
- Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 28/2025”)
- Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2025 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Standar Produk/Jasa Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Subsektor Kesehatan (“Permenkes 11/2025”)
Referensi:
- Menggali Potensi Bisnis Klinik Kecantikan yang Kini Tumbuh Pesat. Tech in Asia. (Diakses pada 18 Desember 2025 Pukul 13.02 WIB).
