Kementerian Keuangan mencatat pendapatan negara pada tahun 2023 mencapai Rp2,774,3 triliun, lebih tinggi 5,3% dibandingkan tahun sebelumnya. Sumber pendapatan negara antara lain dari pajak yang terdiri dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, pajak ekspor, pajak perdagangan internasional serta bea masuk dan aturan cukai.

Cukai sebagai salah satu sumber pendapatan negara merupakan pungutan yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik sebagaimana yang telah ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang aturan Cukai, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. 

Kebijakan terkait cukai bersifat selektif dan diskriminatif, karena tidak semua barang dikenakan cukai. Tujuan pengenaan cukai agar konsumsi barang bisa dikendalikan, peredarannya perlu diawasi karena pemakaiannya menimbulkan dampak negatif, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. 

Dikutip dari beacukai.go.id, barang kena cukai yang saat ini diberlakukan di Indonesia terdiri dari etil alkohol atau etanol (EA), minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) dalam kadar berapa pun dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol dan hasil tembakau. Hasil tembakau ini meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya. 

Ada beberapa pengecualian barang yang tidak dikenai cukai sebagaimana ketentuan UU 11 Tahun 1995 Jo Undang-undang No 39 tahun 2007 tentang aturan Cukai, yaitu tembakau iris dengan kriteria dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang tidak dikemas untuk penjualan eceran. Selain itu  tembakau iris yang dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan, namun tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri. 

Selanjutnya, tembakau dengan campuran bahan bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau dan/atau pada kemasannya ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merek dagang, etiket, atau yang sejenis. Selain tembakau, pengecualian juga berlaku untuk minuman yang mengandung etil alkohol hasil peragian atau penyulingan yang dibuat oleh rakyat di Indonesia secara sederhana, semata-mata untuk mata pencaharian dan tidak dikemas untuk penjualan eceran.

Dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No 11 tahun 1995 dijelaskan, barang kena cukai yang dibuat di Indonesia dikenai cukai berdasarkan tarif setinggi-tingginya dua ratus lima puluh persen dari harga dasar apabila digunakan harga jual pabrik. Atau lima puluh lima persen dari harga dasar apabila menggunakan acuan harga barang eceran.

Kemudian dalam ayat (2) dijelaskan, barang kena cukai yang diimpor dikenai cukai berdasarkan tarif setinggi-tingginya dua ratus lima puluh persen dari harga dasar apabila yang digunakan adalah nilai pabean ditambah bea masuk atau lima puluh lima persen dari harga dasar apabila yang digunakan harga barang eceran.

Sementara pada ayat (3) diterangkan, tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diubah dari persentase harga dasar menjadi jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan barang kena cukai atau sebaliknya atau penggabungan dari keduanya. Pada ayat 4 dijelaskan, ketentuan tentang besarnya tarif cukai untuk setiap jenis barang kena cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), serta perubahan tarif cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Baca Juga: Sejarah Pengadilan Niaga di Indonesia

UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Pada Agustus 2021 lalu, DPR telah mengesahkan Undang-undang No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang juga mengatur perluasan peran Direktorat Jenderal Bea Cukai sebagai otoritas penanggungjawab. Dikutip dari bisnis.tempo.co, dalam UU HPP Pasal 40B dijelaskan, pejabat Bea Cukai memiliki wewenang melakukan penelitian terhadap dugaan adanya pelanggaran di bidang cukai. Jika pelanggarannya terkait administrasi, maka sanksi yang diberikan juga secara administrasi.  

UU HPP juga menetapkan, hasil penelitian pejabat Bea Cukai bisa tidak diteruskan ke penyidikan jika perkara tersebut berkaitan dengan pelanggaran terhadap Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58. Penelitian juga bisa tidak berlanjut ke penyidikan jika pelaku pelanggaran membayar sanksi administrasi berupa denda sebesar tiga kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. 

Sebetulnya apa alasan dikeluarkannya UU HPP? Dikutip dari pajak.com, tujuan disahkannya UU HPP untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian. Selain itu juga untuk mengoptimalkan penerimaan negara, mewujudkan sistem pajak yang lebih berkeadilan dan memberikan kepastian hukum dan melaksanakan reformasi administrasi. Kebijakan perpajakan (termasuk cukai) diharapkan lebih harmonis dan konsolidatif.

Baca Juga: Terlalu Sedikit, Pemerintah Berupaya Tambah Objek Cukai