Pengadilan Niaga merupakan salah satu jenis lembaga peradilan khusus dalam sistem peradilan di Indonesia. Pengadilan ini memiliki peran penting dalam menyelesaikan sengketa perdagangan dan ekonomi di Indonesia. Sejarahnya pun menarik untuk ditelusuri, dimulai dari masa kolonial Belanda hingga era modern saat ini.
Cikal bakal terbentuknya Pengadilan ini tak lepas dari pembentukan Pengadilan Negeri di masa kolonial Belanda. Di masa itu Pengadilan Negeri terbagi menjadi dua, yakni pengadilan khusus orang pribumi (musapat), dan pengadilan khusus orang golongan Eropa atau Timur Asing (landraad).
Di masa awal kemerdekaan, kedua pengadilan ciptaan kolonial Belanda dilebur menjadi Pengadilan Negeri. Dengan terbitnya Undang-Undang baru No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, terbentuk empat pengadilan, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Pembentukan Pengadilan Niaga
Pengadilan Niaga dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, dimana pengadilan ini pada awalnya terbatas hanya mengadili perkara berdasarkan undang-undang kepailitan yang baru. Menurut Pasal 27 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan ini merupakan pengadilan khusus dalam sistem peradilan Indonesia.
Kemudian, berdasarkan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) disebutkan bahwa Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.
Tetapi pada tahun 2001, terjadi perluasan yang mencakup kewenangan untuk mengadili perkara Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), meliputi kewenangan memeriksa sengketa merek, paten, hak cipta, desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu.
Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, kewenangan pengadilan ini bertambah. UU tersebut memberikan kewenangan memeriksa dan memutus sengketa proses likuidasi bank yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Dibentuk di Jakarta
Pengadilan Niaga pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan UU Kepailitan jo UU No. 4 Tahun 1998 jo Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
Selanjutnya, berdasarkan Keputusan Presiden No. 97 tahun 1999, didirikan Pengadilan Niaga di wilayah Pengadilan Negeri Ujung Pandang (Makassar), Medan, Surabaya dan Semarang. Perluasan pengembangan Pengadilan ini dilihat dari eksistensinya yaitu sebagai pengadilan yang memutus perkara-perkara Kepailitan/PKPU dan Perkara HAKI.
Pembentukan Pengadilan ini juga membawa beberapa perubahan, seperti standar waktu penyelesaian perkara dan pembentukan hakim ad hoc. Pengadilan Niaga juga merupakan pengadilan pertama yang memberi wewenang kepada hakim untuk menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam suatu putusan.
Karena Pengadilan ini merupakan bagian dari Pengadilan Negeri, maka Ketua Hakim dan Panitera juga merupakan Ketua Hakim dan Panitera Pengadilan tersebut. Namun, hakim yang menangani perkara niaga merupakan Hakim Karir yang khusus ditunjuk atau ditugaskan untuk itu.
Kesimpulan
Cikal bakal Pengadilan Niaga tak lepas dari pembentukan pengadilan pada masa kolonial Belanda, yaitu pengadilan khusus orang pribumi (musapat), dan pengadilan khusus orang golongan Eropa (landraad). Setelah terbitnya UU No. 14 Tahun 1970, terbentuk empat pengadilan, yakni Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Pengadilan ini merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum. Tak hanya mengadili perkara kepailitan dan PKPU, Pengadilan ini memiliki kewenangan untuk mengadili perkara Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan memeriksa dan memutus sengketa proses likuidasi bank yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Saat ini Pengadilan Niaga sudah tersebar di lima kota Indonesia, Jakarta, Makassar, Medan, Surabaya, dan Semarang. Pembentukan Pengadilan Niaga membawa beberapa perubahan, seperti standar waktu penyelesaian perkara dan pembentukan hakim ad hoc.
Baca Juga: Benarkah PKPU Jadi Momok Menakutkan Bagi Pelaku Usaha?