Dalam putusan perkara tindak pidana korupsi, majelis hakim berwenang menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan harta benda milik terdakwa. Harta yang dirampas itu akan dikuasai oleh negara atau dimusnahkan.
Namun pada banyak kasus, sebagian dari harta yang dirampas dari terdakwa ternyata milik pihak ketiga yang tidak ada kaitannya dengan perkara korupsi yang disidangkan. Pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat perampasan tersebut, dapat melakukan upaya hukum berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, pihak ketiga yang beritikad baik bisa mengajukan keberatan kepada pengadilan Tipikor tempat di mana perkara pokok itu diadili, paling lambat dua bulan semenjak putusan pengadilan diucapkan. Sayangnya, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tidak menyebut secara rinci bagaimana keberatan itu diajukan serta upaya hukum apa saja yang dapat di lakukan terhadap produk hukum yang akan dikeluarkan oleh pengadilan tindak pidana korupsi melalui majelis hakimnya.
Pada tahun 2021, persoalan terkait pengajuan perlawanan pihak ketiga beritikad baik terhadap aset yang disita pengadilan meningkat tajam. Hal ini terjadi karena banyaknya perkara korupsi yang melibatkan perusahaan pengelolaan keuangan dan sekuritas.
Setahun kemudian, terbitlah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Menyelesaikan Keberatan Pihak Ketiga yang Beritikad Baik terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Perma No. 2 Tahun 2022 tersebut diatur tata cara pengajuan keberatan penyitaan aset dan harta kekayaan hingga upaya hukum yang bisa dilakukan oleh pihak ketiga beritikad baik pasca penetapan pengadilan yang mengadili perkara.
Pasal 2 Perma 2 Tahun 2022 menyatakan bahwa pengadilan yang berhak menerima perkara pengajuan keberatan tersebut adalah pengadilan tindak pidana korupsi pada pengadilan negeri atau pengadilan militer/pengadilan militer tinggi yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara pokok pada tingkat pertama.
Pasal 3 ayat (2) mengatur pihak ketiga yang dapat mengajukan keberatan adalah pemilik, pengampu, wali dari pemilik barang, atau kurator dalam perkara kepailitan dari suatu barang, baik seluruhnya maupun sebagian yang dijatuhkan perampasan. Namun, kurator dapat mengajukan permohonan keberatan hanya jika putusan pernyataan pailit diucapkan sebelum dimulainya penyidikan.
Berdasarkan Pasal 4 ayat 1 Perma No. 2 Tahun 2022, keberatan harus diajukan dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan pada perkara pokok diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Sedangkan, Pasal 4 ayat 2 Perma No. 2 Tahun 2022, dalam hal perkara pokok merupakan putusan banding atau kasasi, keberatan diajukan paling lambat 2 (dua) bulan setelah petikan/salinan putusan diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa dan/atau diumumkan di papan pengumuman pengadilan dan/atau secara elektronik.
Berdasarkan Pasal 14 Perma No. 2 Tahun 2022, pengajuan keberatan dari pihak ketiga yang beritikad baik, tidak dipungut biaya.
Setelah dilakukannya pengajuan keberatan oleh pihak ketiga beritikad baik, maka berdasarkan Perma No. 2 Tahun 2022, majelis hakim akan memberikan produk hukum kepada para pencari keadilan berupa penetapan.
Setelah keluarnya penetapan dari Pengadilan Tipikor, para pencari keadilan juga masih diberikan kesempatan untuk melakukan upaya hukum lainnya. Upaya yang bisa dilakukan terhadap penetapan pengadilan tingkat pertama adalah dengan mengajukan kasasi, sebagaimana diatur Pasal 15 ayat 1 Perma No. 2 Tahun 2022.
Pendaftaran kasasi harus disertai dengan berkas memori kasasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat 2 Perma No. 2 Tahun 2022. Apabila permohonan kasasi tidak disertai dengan memori kasasi, pihak panitera membuat surat keterangan yang ditujukan kepada ketua/kepala pengadilan. Kemudian, ketua/kepala pengadilan membuat penetapan permohonan kasasi tidak dapat diterima dan berkas perkara permohonan tidak akan dikirim ke Mahkamah Agung.
Namun Pasal 20 Perma No. 2 Tahun 2022 menyatakan bahwa terhadap permohonan kasasi dan/atau penetapan atas permohonan keberatan yang telah berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diajukan upaya hukum luar biasa atau Peninjauan Kembali (PK).
Maka, berdasarkan Perma 2 Tahun 2022, upaya hukum terakhir yang bisa dilakukan bagi para pihak beritikad baik adalah upaya hukum kasasi.
Author / Contributor:
Ikra Rhama, S.H., M.H, C.L.A Associate Contact: Mail : ikra@siplawfirm.id Phone : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975 |