Perkembangan pesat e-commerce telah membuka peluang besar bagi pelaku usaha dan kreator untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Namun, di balik kemudahan transaksi digital, muncul tantangan serius dalam perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), khususnya terkait pembajakan produk kreatif. Pasar digital atau marketplace digital kerap menjadi tempat beredarnya barang palsu dan bajakan, mulai dari fashion tiruan, hingga software ilegal. Fenomena ini pun menimbulkan pertanyaan terkait hukum yang mendasar dan krusial, yakni sejauh mana tanggung jawab marketplace terhadap peredaran produk bajakan di forum mereka?

Di satu sisi, marketplace berperan sebagai penghubung antara penjual dan pembeli, serta menyediakan infrastruktur digital yang memungkinkan transaksi berlangsung secara efisien. Namun di sisi lain, keberadaan produk bajakan yang beredar luas di platform mereka menimbulkan dilema hukum dan etika yang tidak bisa diabaikan. Ketika barang palsu atau konten ilegal dijual secara terbuka dan berulang, muncul dugaan bahwa marketplace tidak hanya lalai, tetapi juga berpotensi turut serta dalam pelanggaran hak kekayaan intelektual. Dalam hal ini, penting untuk meninjau kembali peran aktif marketplace dalam mencegah pelanggaran HKI, serta memahami sanksi hukum yang menjerat terkait dengan pembajakan sebuah karya di era digital.

Tanggung Jawab Marketplace terhadap Produk Bajakan

Marketplace digital telah menjadi tulang punggung perdagangan modern yang menyediakan ruang virtual bagi jutaan pelaku usaha untuk memasarkan produk mereka secara cepat dan luas. Dengan sistem yang berbasis User Generated Content, platform ini memungkinkan siapapun untuk membuka toko dan menjual barang tanpa proses kurasi yang ketat. Meskipun marketplace memberikan kemudahan, namun ada potensi masalah terkait pelanggaran hak cipta. Fleksibilitas ini mendorong pertumbuhan ekonomi digital, namun sekaligus membuka celah bagi peredaran produk ilegal, termasuk barang bajakan dan konten yang melanggar hak kekayaan intelektual (HKI)

Pasar digital ini dikategorikan sebagai Penyelenggaraan Sistem Elektronik (PSE) lingkup privat berdasarkan Pasal 2 ayat (5) huruf b angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019). Lebih lanjut, sistem jual-beli secara daring dalam marketplace turut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP 80/2019), khususnya dalam Pasal 1 angka 11 dijelaskan bahwa:

“Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang selanjutnya disingkat PPMSE adalah Pelaku Usaha penyedia sarana Komunikasi Elektronik yang digunakan untuk transaksi Perdagangan.”

Berlakunya PP 80/2019 menjadi tonggak penting dalam pengaturan ekosistem e-commerce di Indonesia. Regulasi ini menegaskan bahwa penyedia pasar digital, termasuk marketplace tidak hanya berfungsi sebagai perantara transaksi, tetapi juga memiliki kewajiban untuk memantau, mengawasi, dan memastikan bahwa aktivitas perdagangan di platform mereka berjalan sesuai hukum. Marketplace dituntut untuk lebih proaktif dalam mencegah peredaran produk ilegal, termasuk barang bajakan, dengan menyediakan mekanisme pelaporan, verifikasi penjual, dan sistem penghapusan konten yang melanggar. Dalam Pasal 22 ayat (1) PP 80/2019 secara tegas mengatur:

“Jika dalam PMSE terdapat konten informasi elektronik ilegal, maka pihak PPMSE dalam negeri dan/atau PPMSE luar negeri serta Penyelenggara Sarana Perantara bertanggung jawab atas dampak atau konsekuensi hukum akibat keberadaan konten informasi elektronik ilegal tersebut.”

Pernyataan bahwa PPMSE dan penyelenggara sarana perantara bertanggung jawab atas konten ilegal dalam sistem elektronik menunjukkan bahwa marketplace tidak bisa lepas dari tanggung jawab hukum. Akan tetapi, pemerintah juga memberikan perlindungan kepada marketplace dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2016 tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Electronic Commerce) yang Berbentuk User Generated Content (Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika 5/2016).

Surat Edaran ini memperjelas batasan tanggung jawab marketplace sebagai UCG yakni sebagai berikut:

  1. Bertanggungjawab atas penyelenggaraan sistem elektronik dan pengelolaan konten di dalam Platform secara andal, aman, dan bertanggung jawab;
  2. Ketentuan huruf a di atas tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya kesalahan dan/atau kelalaian dari pihak pedagang (merchant) atau pengguna Platform. 

Dengan demikian, apabila terdapat produk yang melanggar hukum di dalam marketplace, tanggung jawab utama berada pada penjual sebagai pengguna platform. Namun, jika pelanggaran dilakukan secara terang-terangan, misalnya melalui deskripsi produk yang secara eksplisit menyebutkan barang terlarang, maka pihak marketplace seharusnya dapat mengenali dan mengambil tindakan. Regulasi yang telah ditetapkan mengharuskan marketplace untuk memastikan bahwa konten dan barang yang ditampilkan di layanan mereka tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Bagaimana Sanksi Pembajakan Menurut Undang-Undang Hak Cipta?

Pembajakan merupakan bentuk pelanggaran hak ekonomi pencipta yang paling merusak dalam ekosistem kekayaan intelektual. Praktik ini tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga menghambat inovasi dan merusak reputasi kreator asli. Di era digital, pembajakan semakin mudah dilakukan, baik melalui penjualan barang tiruan di marketplace, penyebaran software ilegal, maupun distribusi konten digital tanpa izin. Meski pelaku utama sering kali adalah penjual atau distributor, pihak lain yang turut memfasilitasi atau membiarkan pelanggaran terjadi juga dapat dikenai pertanggungjawaban hukum.

Untuk melindungi hak cipta secara efektif, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU HC) menetapkan sanksi pidana yang tegas terhadap pelanggaran, khususnya pembajakan yang dilakukan untuk tujuan komersial melalui Pasal 113 UU HC. Pasal ini mengatur secara bertingkat mengenai pelanggaran hak ekonomi pencipta dengan sanksi pidana denda dan pidana yang bervariasi, mulai dari denda paling banyak antara Rp100 juta hingga Rp4 miliar dan pidana penjara paling lama antara 1 tahun hingga 10 tahun yang disesuaikan dengan jenis pelanggaran yang dilakukan. 

Ketentuan ini menunjukkan bahwa pembajakan bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan tindak pidana serius yang dapat dikenai hukuman berat. Marketplace yang membiarkan atau tidak segera menindak produk bajakan di platformnya, apalagi jika terbukti mengetahui dan tidak mengambil tindakan, berpotensi dikenai pertanggungjawaban hukum berdasarkan Pasal 114 UU Hak Cipta, yang menyatakan bahwa:

“Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Baca juga: Apakah Pedagang di E-Commerce Harus Memiliki Izin Usaha?

Lalu, Sejauh Mana Peran DJKI dalam Menegakan HKI di Perdagangan Digital?

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) telah mengambil langkah strategis untuk melibatkan marketplace dalam penegakan HKI. Dalam pernyataan resmi, DJKI menyebut bahwa pembajakan musik, film, software, dan buku digital masih mendominasi pelanggaran HKI di Indonesia. Marketplace dan media sosial menjadi sarana utama peredaran produk tiruan dan konten ilegal.

Sebagai respons, DJKI menjalin kerja sama dengan platform e-commerce besar seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, Lazada, dan TikTok Shop. Kolaborasi ini mencakup penghapusan produk ilegal, penutupan toko pelanggar, serta edukasi bagi pengelola platform dan pelaku usaha. Tokopedia, misalnya, telah menghapus lebih dari 1,4 juta produk ilegal dan menutup lebih dari 25.000 toko yang melanggar HKI sepanjang tahun 2021.

DJKI juga mendorong penggunaan teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk mendeteksi pelanggaran HKI secara otomatis. Selain itu, masyarakat diajak untuk aktif melaporkan pelanggaran melalui situs resmi DJKI dan fitur pelaporan di marketplace. Upaya ini bertujuan menciptakan ekosistem ekonomi kreatif yang sehat dan berkelanjutan.

Pembajakan produk kreatif di e-commerce bukan hanya merugikan pencipta dan pemegang hak cipta, tetapi juga menghambat pertumbuhan industri kreatif nasional. Marketplace sebagai penyedia sarana transaksi digital memiliki tanggung jawab hukum untuk mencegah dan menindak pelanggaran HKI di platform mereka. Kolaborasi antara DJKI dan marketplace merupakan langkah penting dalam membangun ekosistem digital yang sehat. Namun, penegakan hukum yang konsisten, edukasi publik, dan teknologi deteksi pelanggaran harus terus diperkuat. Hanya dengan komitmen bersama, Indonesia dapat melindungi hak kreator dan menciptakan pasar digital yang adil dan berkelanjutan.***

Baca juga: Menghindari Pelanggaran Hak Cipta dalam Bisnis Kreatif dan UMKM

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU HC).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP 80/2019).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019).
  • Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2016 tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Electronic Commerce) yang Berbentuk User Generated Content (Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika 5/2016).

Referensi: