Dalam praktik penyelesaian utang-piutang yang melibatkan entitas bisnis maupun individu, kepailitan menjadi instrumen hukum yang memainkan peran sentral dalam menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap para pihak. Salah satu fase krusial dalam proses kepailitan adalah pelaksanaan lelang terhadap aset debitur, yang hasilnya akan digunakan untuk membayar para kreditur secara terstruktur dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Penanganan hasil lelang ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan, melainkan tunduk pada prinsip-prinsip yuridis yang ketat, termasuk mekanisme prioritas yang mengatur siapa yang harus didahulukan dalam menerima pelunasan.
SIP Law Firm akan menguraikan secara sistematis bagaimana mekanisme pembagian hasil lelang dibagikan kepada kreditur dengan memperhatikan klasifikasi kedudukan mereka, mulai dari kreditur separatis, preferen, hingga konkuren.
Hierarki Kreditur dalam Pembagian Hasil Lelang
Prinsip utama dalam hukum kepailitan adalah asas pari passu pro rata parte, yaitu semua kekayaan debitur merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali jika antara kreditur itu terdapat aturan dalam Undang-Undang yang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya. Asas ini merupakan salah satu asas yang dijadikan landasan mengapa instrumen hukum kepailitan diperlukan dan juga sebagai salah satu asas dalam proses pembagian harta pailit tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang berbunyi:
“Barang-barang itu menjadi jaminan bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.”
Pada praktiknya, terdapat urutan prioritas (hierarki) dalam pembagian hasil lelang harta pailit yang menentukan siapa yang harus didahulukan. Urutan tersebut secara umum adalah sebagai berikut:
- Kreditur konkuren
Merupakan kreditur umum yang tidak memiliki hak jaminan kebendaan dan tidak mendapat keistimewaan menurut Undang-Undang. Contohnya termasuk pemasok barang dan pemberi pinjaman biasa, Kedudukan mereka paling lemah dalam pembagian, sebab hanya menerima pelunasan dari sisa harta setelah kewajiban kepada kreditur separatis dan preferen dilunasi.
- Kreditur separatis
Kreditur separatis adalah pihak yang memegang hak jaminan kebendaan atas harta tertentu milik debitur, seperti hak tanggungan atas tanah dan bangunan, hipotik, dan gadai atas benda bergerak. Dalam proses kepailitan, kreditur separatis tetap dapat mengeksekusi jaminannya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU K-PKPU”) yakni:
“Setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.”
Namun, hak ini dapat ditangguhkan sementara demi kepentingan kepailitan sesuai Pasal 56 ayat (1) UU K-PKPU selama maksimal 90 (sembilan puluh) hari sejak putusan pailit. Eksekusi oleh kreditur separatis dilakukan melalui lelang jaminan, dan hasilnya digunakan untuk melunasi utangnya terlebih dahulu. Apabila masih terdapat kelebihan nilai dari hasil lelang, maka sisanya akan masuk ke boedel pailit dan dibagikan kepada kreditur lainnya.
- Kreditur preferen
Kreditur preferen adalah pihak yang diberi hak istimewa oleh Undang-Undang untuk menerima pembayaran terlebih dahulu atas piutangnya. Pihak kreditur preferen memperoleh hak untuk didahulukan daripada kreditur konkuren, meskipun tidak memiliki jaminan khusus. Namun, kreditur separatis sebagai pemegang hak jaminan harus memperoleh pelunasan piutang terlebih dahulu dibanding kreditur preferen yang memiliki hak istimewa, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Ketentuan ini sehubungan dengan Pasal 1134 KUH Perdata sebagai berikut:
“Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh Undang-Undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal Undang-Undang dengan tegas menentukan kebalikannya.”
Hak preferen ini bersifat legalistik, artinya hanya berlaku jika diatur secara tegas dalam undang-undang. Kreditor preferen hanya mendapat pelunasan dari nilai harta pailit secara umum (boedel), bukan dari benda jaminan seperti halnya kreditor separatis. Sementara itu, contoh dari kreditur preferen yang kedudukannya tegas diatur dalam Undang-Undang antara lain:
- Negara untuk pembayaran piutang pajak
- Pekerja untuk upah yang belum dibayarkan
- Biaya kepailitan seperti biaya kurator dan pengurus
Baca juga: Hak dan Kewajiban Debitur dalam Kepailitan dan PKPU
Proses Pembagian Harta Pailit Menurut UU K-PKPU
Setelah debitur dinyatakan pailit dan asetnya dilelang oleh kurator, dana hasil pemberesan harta harus dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan klasifikasi dan hierarki yang telah diatur dalam UU K-PKPU. Proses ini memiliki tahapan yang jelas dan telah diatur dalam Undang-Undang, di antaranya:
- Penyusunan Daftar Pembagian
Kurator menyusun daftar pembagian yang berisi rincian nominal, nama kreditur, dan urutan kreditur berdasarkan skala prioritas. Penyusunan ini memperhitungkan hasil lelang setelah dikurangi biaya kepailitan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 189 ayat (1) UU K-PKPU yang berbunyi:
“Kurator wajib menyusun suatu daftar pembagian untuk dimintakan persetujuan kepada Hakim Pengawas.”
- Pengesahan Daftar oleh Hakim Pengawas
Sebelum dilakukan pembayaran, daftar pembagian wajib disahkan oleh hakim pengawas. Kreditur memiliki hak untuk mengajukan keberatan terhadap daftar ini sebelum pengesahan. Kreditur dapat melawan daftar pembagian tersebut dengan mengajukan surat keberatan disertasi alasan kepada Panitera Pengadilan, dengan menerima tanda bukti penerimaan. Surat keberatan tersebut pun dilampirkan pada daftar pembagian.
- Pelaksanaan Pembayaran
Setelah daftar pembagian disahkan dan tidak ada keberatan yang diterima atau hal ini telah diselesaikan, kurator dapat melaksanakan pembayaran kepada masing-masing kreditur berdasarkan urutan haknya. Dalam Pasal 189 ayat (4) UU K-PKPU dijelaskan bahwa pembayaran kepada kreditor:
- yang mempunyai hak yang diistimewakan, termasuk di dalamnya yang hak istimewanya dibantah; dan
- pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sejauh mereka tidak dibayar menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dapat dilakukan dari hasil penjualan benda terhadap mana mereka mempunyai hak istimewa atau yang diagunkan kepada mereka.
Baca juga: Peran OJK dan Tanggung Jawab Perusahaan Asuransi dalam Menghadapi Kepailitan
Namun, Bagaimana Jika Hasil Lelang Tak Cukup Untuk Lunasi Semua Utang?
Dalam kasus di mana mekanisme pembagian hasil lelang tidak cukup untuk melunasi seluruh utang kepada kreditor, hukum kepailitan Indonesia memiliki mekanisme yang secara eksplisit mengatur bagaimana kekurangan tersebut ditangani. Jika nilai hasil eksekusi atas hak tanggungan tidak mencukupi untuk memenuhi pelunasan utang yang dijamin, maka menurut pandangan kami, kreditur memiliki dasar hukum untuk melanjutkan eksekusi terhadap aset lain milik debitur. Hal ini selaras dengan asas jaminan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan:
“Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.”
Meskipun demikian, menurut pendapat kami, langkah yang tepat bagi kreditur bukanlah langsung melakukan eksekusi, melainkan terlebih dahulu mengajukan gugatan kepada debitur untuk menuntut pelunasan atas sisa piutang yang belum terbayarkan.
Sebaliknya, apabila hasil penjualan atas objek yang dibebani hak tanggungan melebihi jumlah utang yang dijamin (yang batas maksimalnya sebesar nilai tanggungan tersebut), maka kelebihan hasil penjualan tersebut sepenuhnya menjadi hak milik dari pemberi hak tanggungan.
Namun, jika yang dimaksud adalah telah terdapat hak atas tanah yang dijadikan jaminan dengan hak tanggungan, tetapi kreditur justru mengeksekusi aset lain yang tidak tercakup dalam jaminan tersebut tanpa landasan hukum yang sah, maka tindakan tersebut jelas dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Sebab, perlu dipahami bahwa hak tanggungan itu berasal dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit, sehingga hak tanggungan itu sendiri merupakan bentuk perjanjian accessoir atau perjanjian tambahan.
Dalam hal ini, penting untuk mendapatkan masukan spesifik dari ahli hukum yang berpengalaman dalam perkara kepailitan dan PKPU yang akan memberikan perspektif lebih tajam mengenai validitas suatu tindakan dan langkah strategis yang paling aman secara hukum.***
Baca juga: Konsekuensi Hukum Terhadap Kepailitan Perorangan
Daftar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
- Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU K-PKPU”).
Referensi:
- Cara Bagi Harta Pailit Menurut Asas Pari Passu Prorata Parte. HukumOnline. (Diakses pada 7 Juli 2025 pukul 08.58 WIB).
- Jika Eksekusi Hak Tanggungan Tak Cukup Lunasi Utang. HukumOnline. (Diakses pada 7 Juli 2025 pukul 11.05 WIB).
- Urutan Prioritas Pelunasan Utang dalam Kepailitan. HukumOnline. (Diakses pada 7 Juli 2025 pukul 11.12 WIB).