Arbitrase atau penyelesaian sengketa melalui non-litigasi atau tanpa mekanisme proses pengadilan kerap digunakan dalam upaya hukum penyelesaian sengketa bisnis. Upaya non-litigasi ini menjadi pilihan terbaik karena dianggap efektif dan menguntungkan diantara kedua belah pihak. 

Namun penyelesaian sengketa melalui arbitrase harus didahulukan dengan kesepakatan para pihak secara tertulis. Para pihak menyepakati dan mengikat diri, jika nantinya terjadi perselisihan  akan menyelesaikannya melalui lembaga arbitrase dengan menambahkan klausul pada perjanjian pokok.

Apabila para pihak belum memasukkannya pada klausul perjanjian pokok, maka para pihak dapat melakukan kesepakatan menggunakan akta kompromis yang ditandatangani kedua belah pihak dan disaksikan oleh notaris.

Penyelesaian sengketa melalui arbiter atau majelis arbitrase akan menjatuhkan putusan arbitrase selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan sengketa oleh arbiter. Jika dalam putusan yang dijatuhkan tersebut terdapat kesalahan administratif, para pihak dalam waktu 14 hari terhitung sejak putusan dijatuhkan diberikan hak untuk meminta dilakukannya koreksi atas putusan tersebut. 

Upaya Hukum Arbitrase

Dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau disebut UU Arbitrase menyebutkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase. 

Undang-undang arbitrase juga menyebutkan bahwa putusan arbitrase bersifat final dan mengikat. Sehingga penyelesaian sengketa melalui arbitrase menutup peluang munculnya upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali (PK). Ini bertujuan untuk mencegah penyelesaian sengketa agar tidak terlalu berlarut-larut

Namun, dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan, jika dalam proses arbitrase ditemukan kecurangan, putusan tersebut dapat dibatalkan melalui proses di Pengadilan Negeri. Prosedur dan persyaratan untuk mengajukan permohonan pembatalan tersebut diatur dalam Pasal 70, 71, dan 72 UU Arbitrase. 

Unsur pendukung yang bisa menjadi dasar pengajuan pembatalan putusan arbitrase selanjutnya diatur Pasal 70 UU Arbitrase. Berikut adalah unsur-unsur tersebut; 

  1. Dokumen yang diajukan sebagai bukti dalam pemeriksaan diduga palsu. 
  2. Terjadi manipulasi bukti atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak. 

Namun jika putusan permohonan pembatalan dianggap tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pemohon, sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase, putusan tersebut dapat diajukan banding ke Mahkamah Agung. Namun permohonan banding ini hanya terhadap putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 UU Arbitrase. 

Sedangkan jika Majelis Hakim menolak permohonan tersebut dan putusan arbitrase tetap berlaku, berdasarkan UU Arbitrase tidak ada upaya hukum yang dapat diajukan.

Baca Juga: Hal-hal Yang Perlu Diketahui Terkait Arbitrase Internasional