Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU Kepailitan dan PKPU) lahir sebagai reaksi dari banyaknya kredit macet pada masa krisis moneter yang terjadi di era tahun 1998. Berbagai cara ditempuh khususnya oleh debitur untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, salah satunya adalah dengan restrukturisasi utang, namun rencana ini tidak berjalan dengan baik. 

Mengingat upaya restrukturisasi utang debitur belum dapat berjalan sesuai harapan, sedangkan kreditur, terutama kreditur luar negeri, menghendaki agar peraturan kepailitan Indonesia secepatnya dapat diubah. Bahkan saat itu, lembaga donor internasional IMF meminta kepada pemerintah Indonesia menyelesaikan utang-utang luar negerinya dan penyelesaian kredit-kredit macet perbankan Indonesia. 

UU Kepailitan dan PKPU memiliki cakupan yang lebih luas baik dari segi normal, ruang lingkup materi, dan proses penyelesaian utang piutang. Dalam penjelasannya, UU sudah mengatur syarat dan prosedur permohonan pailit dan PKPU termasuk penetapan waktu secara pasti bagi pengambilan keputusan, sehingga putusan pernyataan pailit dapat dijatuhkan dan disampaikan tepat waktu. 

Perubahan undang-undang kepailitan juga dilakukan pada segi hukum acara, antara lain perlindungan bagi kreditur konkuren dan harta pailit dari eksekusi harta pailit oleh kreditor separatis. Hal ini dilakukan dengan memberi kesempatan kepada kreditur separatis untuk ikut serta dalam mengambil keputusan terhadap usulan perdamaian yang disampaikan debitur. 

Keberadaan UU Kepailitan dan PKPU memberikan dampak positif  bukan hanya terhadap kreditur dan debitur, namun juga terhadap iklim usaha dan di Indonesia, serta mampu memenuhi kebutuhan para pencari keadilan dalam menyelesaikan masalah hutang piutang yang terjadi pada saat itu.  

Hukum Kepailitan dalam Menciptakan Iklim Usaha yang Sehat

Pembentukan Pengadilan Niaga melalui Perpu Nomor 1 Tahun 1998 (“Perpu 1/1998”) menandai era baru dalam penyelesaian perkara kepailitan di Indonesia. Tujuan dari pendirian pengadilan ini adalah untuk memperbaiki berbagai kelemahan dalam sistem penyelesaian kepailitan sebelumnya, terutama dalam hal waktu dan sistem pembuktian.

Lahirnya UU Kepailitan dan PKPU menjawab kekhawatiran para pelaku usaha mengenai ketidakpastian hukum di Indonesia. Lebih dari itu, bagi suatu negara, kepastian hukum adalah salah satu faktor kunci yang mendukung stabilitas ekonomi, terutama dalam memperkirakan risiko bisnis. 

UU Kepailitan dan PKPU memberikan kesempatan bagi debitur untuk mengajukan permohonan PKPU guna merestrukturisasi utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

PKPU merupakan suatu keadaan yang diatur undang-undang melalui putusan Pengadilan Niaga, dimana debitur dan kreditur diberi kesempatan untuk merundingkan cara penyelesaian utang, termasuk kemungkinan restrukturisasi.

Selama periode PKPU, debitur masih memiliki kebebasan dalam mengelola aset atas seizin pengurus. Dalam PKPU, debitur tidak dapat dipaksa membayar utangnya, dan semua proses eksekusi yang telah dimulai harus ditangguhkan. Debitur juga memiliki kesempatan untuk mengajukan rencana perdamaian dengan kreditur, di mana rencana ini mencakup pembayaran sebagian atau seluruh utang, sehingga mendapatkan cara pembayaran yang terbaik. Meski demikian, perdamaian dapat dibatalkan oleh kreditur jika debitur gagal memenuhi perjanjian perdamaian, yang akan mengakibatkan debitur dinyatakan pailit. 

Lebih dari itu, PKPU juga memberi peluang bagi debitur untuk membuktikan bahwa mereka tidak dalam keadaan insolvensi dan memiliki prospek bisnis yang baik. JIka PKPU hanya boleh diajukan oleh debitur, karena sifatnya restrukturisasi, sedangkan permohonan pailit, dapat diajukan oleh kreditur maupun debitur, karena sifatnya adalah pemberesan. 

Kepailitan merupakan sita umum atas barang-barang milik debitur untuk kepentingan kreditur secara bersama-sama. Secara normatif, UU Kepailitan dan PKPU tidak memberikan definisi khusus mengenai insolvensi, namun demikian UU Kepailitan dan PKPU mengartikan insolvensi dalam arti yang lebih sederhana, yaitu suatu keadaan tidak mampu membayar. 

Merujuk pada Pasal 178 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, keadaan insolvensi terjadi jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 

Dalam penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU tidak hanya berlaku untuk debitur yang memang tidak mampu karena memiliki solvabilitas yang buruk, namun juga berlaku untuk debitur yang sebenarnya mampu (solvent) tetapi tidak mau membayar utang utangnya (the presumption of insolvency). Dengan kata lain, UU Kepailitan dan PKPU dapat digunakan sebagai “alat pemaksa” oleh kreditur terhadap debitur yang masih solvent namun tidak mau membayar hutangnya. 

Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa perubahan-perubahan atas hukum kepailitan urgensinya harus menghasilkan perubahan dan menjadikan sistem hukum nasional dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia jadi lebih baik. Terlebih keberadaan PKPU dan Kepailitan bisa mempengaruhi perkembangan ekonomi, sehingga perlu adanya penyesuaian di sejumlah peraturan yang dirasakan masih tumpang tindih dalam pelaksanaannya.

Kepailitan dan PKPU memiliki nilai positif bagi pembangunan ekonomi nasional, karena menjamin pembayaran atas piutang kreditur melalui pengurusan harta debitur PKPU dan/atau pemberesan harta debitur pailit. Upaya ini lebih efektif dibandingkan melalui proses gugatan di pengadilan yang memerlukan waktu cukup panjang dan eksekusi. Sedangkan pranata kepailitan dan PKPU menggunakan konsep sita umum yang mengadopsi konsep paritas creditorium atau prinsip bahwa semua kreditur memiliki hak yang sama terhadap harta kekayaan debitur. Prinsip ini berlaku ketika debitur tidak bisa atau tidak mau membayar utangnya.  

Baca juga: Memahami Perbedaan Bangkrut dan Pailit dalam Dunia Bisnis

Kesimpulan

UU Kepailitan dan PKPU lahir sebagai respons terhadap krisis moneter 1998 untuk mengatasi masalah kredit macet yang terjadi saat itu. Undang-undang ini juga memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi debitur dan kreditur, serta menciptakan mekanisme penyelesaian utang yang lebih efektif dibandingkan dengan gugatan di pengadilan umum. 

PKPU juga memberikan kesempatan kepada debitur untuk merestrukturisasi utangnya, sementara kreditur dilindungi dari eksekusi aset selama proses berlangsung. UU Kepailitan juga berfungsi sebagai alat bagi kreditur untuk memaksa debitur yang mampu tetapi enggan membayar kewajibannya. Pada akhirnya, regulasi ini berkontribusi pada iklim usaha yang lebih stabil dan kondusif di Indonesia. 

Baca juga: Perlindungan Hukum Kreditor Berdasarkan UU Kepailitan

Dasar Hukum: 

Referensi: