Korporasi memiliki peran sentral terhadap perekonomian Indonesia. Keberadaan korporasi mampu membuka lapangan pekerjaan, mendukung pertumbuhan ekonomi, serta berkontribusi besar terhadap penerimaan negara melalui pajak dan devisa. Akan tetapi, korporasi juga berisiko dijadikan sebagai tempat melakukan praktik ilegal, seperti tindak pidana pencucian uang (TPPU). Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Lama”), subjek hukum terbatas pada perseorangan.
Namun, sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), sistem hukum pidana di Indonesia tidak hanya mengenal perseorangan sebagai subjek hukum tindak pidana, melainkan juga entitas korporasi. Oleh karena itu, pada artikel ini SIP Law Firm akan membahas terkait hubungan pertanggungjawaban korporasi dengan pengurus, peran direksi dan komisaris dalam pertanggungjawaban pidana, dan konsekuensi bisnis ketika dijatuhi pidana.
Hubungan antara Pertanggungjawaban Korporasi dengan Pengurus
Bentuk korporasi menurut Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) meliputi: perseroan terbatas (PT), yayasan, koperasi, badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), atau yang disamakan dengan itu, serta perkumpulan yang berbadan hukum maupun bukan badan hukum atau badan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari berbagai bentuk korporasi tersebut, PT dapat dikatakan memiliki pengaruh yang paling kuat dalam kegiatan bisnis. Maka dari itu, penulisan ini akan memfokuskan pembahasan lebih lanjut mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang terjadi dalam lingkup PT.
Istilah PT telah diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”), yang menyatakan bahwa:
“Perseroan terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.”
Menurut Pasal 1 angka 2 UU PT, struktur korporasi terdiri atas: rapat umum pemegang saham (RUPS), direksi, dan dewan komisaris. Ketiga unsur tersebut memiliki peran yang saling berhubungan dalam kebijakan dan pengelolaan korporasi. Pada Pasal 45 ayat (1) KUHP telah mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana. Dengan diakui sebagai subjek hukum pidana, berarti korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, pengurus, maupun keduanya.
Kemudian dalam Pasal 48 KUHP menjelaskan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban sebagaimana ketentuan pasal tersebut berbunyi:
“Tindak pidana oleh Korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 dapat dipertanggungjawabkan, jika:
- Termasuk dalam lingkup usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi Korporasi;
- Menguntungkan korporasi secara melawan hukum;
- Diterima sebagai kebijakan korporasi;
- Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana; dan/ atau
- Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana.”
Dengan demikian, pertanggungjawaban korporasi pada TPPU tidak dapat dilepaskan begitu saja dari peran para pengurus yang baik secara langsung ataupun tidak langsung memberikan persetujuan, bertindak lalai, maupun membiarkan terjadinya tindak pidana tersebut.
Peran Direksi dan Komisaris dalam Pertanggungjawaban Pidana
Direksi dan komisaris memiliki kedudukan penting yang saling berkaitan satu sama lain. Direksi bertanggung jawab menjalankan operasional korporasi sehari-hari sebagaimana tertera dalam Pasal 97 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak PIdana Pencucian Uang (“UU TPPU”), sementara itu dalam Pasal 114 UU TPPU mewajibkan komisaris untuk bertindak sebagai pengawas dengan itikad baik.
Meskipun direksi dan komisaris memiliki peran yang berbeda, tetapi keduanya dapat dimintakan tanggung jawab atas keterlibatannya dalam mencegah pelanggaran TPPU. Permintaan pertanggungjawaban tersebut dikarenakan pada kenyataannya, pelanggaran TPPU didasari atas adanya beberapa keputusan manajerial, seperti pengelolaan keuangan, transaksi bisnis, ataupun strategi investasi yang merupakan kewenangan direksi, serta pengawasan aktif yang sudah semestinya dilaksanakan oleh komisaris. Maka dari itu, jika ditemukan bahwa direksi dengan sengaja menggunakan kewenangannya untuk memfasilitasi aliran dana ilegal atau komisaris yang lalai mengawasi dan mengabaikan berlangsungnya praktik TPPU, maka keduanya dapat dianggap turut serta atau membiarkan terjadinya tindak pidana.
Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana bukan hanya melekat pada korporasi sebagai badan hukum, namun juga dapat dibebankan kepada pengurus yang terbukti lalai atau menyalahgunakan kewenangannya. Hal ini menegaskan bahwa efektivitas pencegahan TPPU dalam struktur korporasi sangat ditentukan oleh integritas dan kepatuhan direksi serta komisaris dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya sesuai prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance / GCG).”
Baca juga: Money Laundering in Indonesia: Legal Framework, Enforcement, and Evolving Methods
Konsekuensi Bisnis Ketika Dijatuhi Pidana
Pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap pelanggaran TPPU tidak hanya menimbulkan konsekuensi hukum, melainkan juga berdampak luas terhadap kelangsungan bisnis. Pada Pasal 118 KUHP telah menjelaskan bahwa sanksi pidana bagi korporasi terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok dapat berupa denda, sementara itu pidana tambahan dapat berupa pembayaran ganti rugi, perampasan keuntungan, pencabutan izin tertentu, hingga pembubaran korporasi sebagaimana diatur dalam Pasal 120 ayat (1) KUHP.
Selain sanksi pokok dan tambahan yang diatur oleh KUHP, terdapat sanksi administratif yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap pelanggaran TPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8 Tahun 2023 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme, dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal di Sektor Jasa Keuangan (“POJK 8/2023”), yakni mulai dari peringatan berupa teguran tertulis, hingga pembekuan kegiatan usaha.
Berbagai sanksi yang ditetapkan oleh KUHP dan OJK terhadap TPPU yang dilakukan oleh korporasi berpotensi membuat korporasi terpuruk dalam waktu singkat, bahkan hingga mengancam eksistensi korporasi itu sendiri. Hingga pada akhirnya, konsekuensi bisnis ketika dijatuhi pidana tidak hanya berdampak pada korporasi itu sendiri, melainkan juga berpengaruh terhadap pemegang saham, karyawan, bahkan konsumen.
Disahkannya KUHP pada tahun 2023 yang turut melibatkan korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana menjadi bukti bahwa adanya kemajuan dalam sistem hukum pidana di Indonesia. KUHP memberikan kepastian bahwa setiap tindak pidana, termasuk TPPU, tidak hanya dibebankan kepada perseorangan, namun juga korporasi. Oleh karena itu, dalam menjalankan kegiatan bisnisnya, korporasi harus memenuhi kewajiban hukum dan mematuhi prinsip tata kelola perusahaan yang baik agar terhindar dari sanksi, kerugian reputasi, risiko terganggunya keberlangsungan bisnis, serta sebagai strategi keberlanjutan bisnis.***
Baca juga: Ragam Modus Pencucian Uang dan Strategi Penegakan Hukumnya di Indonesia
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak PIdana Pencucian Uang (“UU TPPU”)
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”)
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Lama”)
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8 Tahun 2023 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme, dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal di Sektor Jasa Keuangan (“POJK 8/2023”)
