Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atau money laundering merupakan salah satu bentuk kejahatan finansial yang kompleks dan berdampak luas. TPPU bukan sekadar kejahatan finansial biasa, melainkan sebuah manipulasi sistem keuangan yang kerap tersembunyi di balik transaksi legal. Praktik ini memungkinkan pelaku kejahatan untuk menyamarkan asal-usul dana haram, sehingga uang hasil korupsi, perdagangan narkotika, atau penggelapan bisa tambah bersih dan sah. Dampak dari tindakan ini pun tidak main-main. Pencucian uang bisa merusak stabilitas ekonomi, memperlemah kepercayaan publik terhadap institusi keuangan, dan membuka celah bagi kejahatan terorganisir untuk terus berkembang. 

Di Indonesia, kasus-kasus pencucian uang menjadi bagian dari skandal besar yang melibatkan tokoh publik, perusahaan, bahkan jaringan lintas negara. Penanganan kejahatan ini pun bukan perkara mudah. Diperlukan kerja sama lintas sektor, dari lembaga keuangan, aparat penegak hukum, hingga masyarakat sipil untuk mendeteksi dan memutus aliran dana ilegal. Tantangannya terletak pada kompleksitas modus operandi pelaku yang sering memanfaatkan celah hukum, teknologi, dan struktur bisnis untuk menyamarkan jejak. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang tahapan pencucian uang, peran lembaga pemantau, dan strategi penegakan hukum menjadi kunci dalam memberantas praktik ini. 

Apa Saja Aktivitas yang Termasuk dalam TPPU dan Bagaimana Tahapannya?

Pencucian uang bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri. Kejahatan ini biasanya muncul sebagai “kejahatan lanjutan” dari tindak pidana asal korupsi, narkotika, penggelapan, penipuan, perdagangan manusia, atau kejahatan lainnya. Tujuan utamanya adalah menyamarkan asal-usul dana hasil kejahatan agar tampak legal dan tidak menimbulkan kecurigaan. Pada praktiknya, pelaku TPPU memanfaatkan celah dalam sistem keuangan, teknologi digital, dan bahkan struktur perusahaan untuk mengaburkan jejak transaksi. Maka dari itu, pencucian uang sering kali sulit dideteksi, apalagi jika dilakukan secara sistematis dan melibatkan banyak pihak. 

Dana hasil kejahatan yang berhasil “dibersihkan” bisa masuk ke beragam sektor, seperti untuk membiayai kampanye politik, membeli aset mewah, atau bahkan mendanai kejahatan baru. Oleh karena itu, memahami bagaimana proses pencucian uang berlangsung menjadi langkah awal yang penting dalam upaya pencegahan dan penindakan. Contoh tindakan pencucian uang menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) yaitu menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana. 

Dilansir dari laman Kepaniteraan Mahkamah Agung, terdapat 3 (tiga) tahapan utama yang saling berkesinambungan dalam menyamarkan asal-usul dana haram agar tampak sah di mata hukum, di antaranya:

  • Penempatan (Placement)

Tahap awal pencucian uang dimulai dengan memasukkan dana ilegal ke dalam sistem keuangan yang sah. Biasanya dilakukan melalui setoran tunai dalam jumlah besar ke rekening bank atau lembaga keuangan lainnya. Transaksi dengan besaran nominal yang mencolok tentu berisiko tinggi dan wajib dilaporkan oleh pihak bank sebagai transaksi keuangan mencurigakan. Inilah fase yang paling rentan terdeteksi karena uang masih dalam bentuk fisik dan belum tersamarkan.

  • Pelapisan (Layering)

Setelah dana berhasil masuk ke sistem keuangan, pelaku akan memulai proses pelapisan dengan mengalirkan uang melalui berbagai transaksi yang kompleks. Tujuannya adalah mengaburkan asal-usul dana dan memutus jejaknya. Teknik yang digunakan bisa berupa transfer antar rekening di berbagai negara, konversi mata uang, transaksi berulang, hingga pembelian aset bernilai tinggi seperti properti, kendaraan mewah, atau perhiasan. Tahap ini merupakan bagian paling rumit dari skema pencucian uang karena dirancang untuk menyulitkan pelacakan oleh otoritas.

  • Integrasi (Integration)

Di tahap akhir, dana yang telah melalui proses penempatan dan pelapisan akan digunakan kembali dalam aktivitas ekonomi yang tampak legal. Uang tersebut bisa diinvestasikan dalam bisnis, properti, atau kegiatan komersial lainnya. Karena telah bercampur dengan dana sah dan digunakan dalam transaksi yang terlihat normal, uang hasil kejahatan ini seolah-olah berasal dari sumber yang sah. Pada titik ini, uang telah sepenuhnya “tercuci” dan kembali beredar di ekonomi formal tanpa menimbulkan kecurigaan.

Dasar Hukum TPPU dan Peran PPATK dalam Melacak Aliran Dana

Selain UU TPPU, kejahatan pencucian uang juga diatur dalam Pasal 607 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini mempertegas bahwa tindakan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana merupakan bentuk pelanggaran pidana yang serius. Tidak hanya pelaku utama yang dapat dijerat, tetapi juga pihak-pihak yang menerima, menguasai, atau memanfaatkan dana hasil kejahatan melalui berbagai bentuk transaksi, baik berupa hibah, penitipan, penukaran, maupun penggunaan dalam aktivitas ekonomi.

Dengan dimasukkannya ketentuan ini ke dalam KUHP, penanganan TPPU menjadi lebih terintegrasi dalam sistem hukum pidana nasional. Hal ini menunjukkan bahwa pencucian uang tidak lagi dipandang sebagai kejahatan khusus semata, melainkan sebagai bagian dari skema kriminal yang berdampak luas terhadap tata kelola keuangan dan keadilan sosial. Harmonisasi antara UU TPPU dan KUHP juga memperkuat dasar hukum bagi aparat penegak hukum untuk menindak pelaku secara lebih efektif, termasuk dalam hal pembuktian, penyitaan aset, dan pemulihan kerugian negara.

Dalam hal ini, diperlukan peran aktif dan strategis dari lembaga pengawas untuk mencegah dan memberantas pencucian uang. Kejahatan ini tidak hanya merusak sistem keuangan, tetapi juga berpotensi mendanai aktivitas ilegal lainnya yang lebih luas dan berbahaya. Oleh karena itu, pengawasan terhadap transaksi keuangan yang mencurigakan menjadi kunci utama dalam memutus rantai pencucian uang sejak dini. Lembaga pengawas harus mampu mendeteksi pola transaksi yang tidak wajar, mengidentifikasi sumber dana yang berisiko, dan memastikan bahwa sistem pelaporan berjalan secara transparan.

Di Indonesia, peran tersebut dijalankan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sebuah lembaga independen yang memiliki mandat khusus dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU. PPATK bertugas mengumpulkan, menganalisis, dan mengevaluasi laporan transaksi keuangan dari berbagai pihak pelapor, termasuk bank, perusahaan asuransi, dan lembaga keuangan lainnya. Melalui pendekatan intelijen keuangan, PPATK dapat menelusuri aliran dana yang mencurigakan, mengidentifikasi keterkaitan dengan tindak pidana asal, dan menyampaikan hasil analisis kepada aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti.

Selain itu, PPATK juga berperan dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan lembaga pelapor melalui regulasi, pelatihan, dan pengawasan. Dalam praktiknya, PPATK menerapkan prinsip “follow the money” untuk mengungkap jaringan kejahatan yang tersembunyi di balik transaksi keuangan yang tampak legal. Kolaborasi antara PPATK dan instansi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi fondasi penting dalam membangun sistem anti-pencucian uang yang efektif dan berkelanjutan.

Baca juga: Penyitaan Aset Kripto Sebagai Barang Bukti Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

Modus TPPU dan Sanksi Hukum yang Menjerat

Pola pencucian uang di Indonesia terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan kompleksitas transaksi keuangan. Berdasarkan Laporan Tahunan PPATK Tahun 2024, salah satu sorotan utama adalah pengungkapan kasus judi daring dengan nilai transaksi fantastis mencapai Rp359,81 triliun. Ini menunjukkan bahwa kejahatan finansial seperti TPPU tidak hanya terjadi dalam lingkup korupsi atau narkotika, tetapi juga merambah ke sektor digital yang sulit diawasi secara konvensional.

Modus yang digunakan pelaku TPPU semakin beragam. Dalam kasus judi daring, misalnya, pelaku memanfaatkan platform digital untuk menyamarkan aliran dana, melakukan deposit dan penarikan secara berulang, serta menyebarkan transaksi ke berbagai rekening dan identitas. PPATK mencatat bahwa upaya intensif mereka berhasil menekan nominal deposit judi daring dari Rp7,89 triliun menjadi Rp6,29 triliun pada triwulan IV 2024, sebuah capaian penting dalam memutus rantai kejahatan keuangan. Modus lainnya yang umum ditemukan meliputi:

  1. Smurfing: Memecah transaksi besar menjadi sejumlah transaksi kecil agar tidak terdeteksi sistem pelaporan otomatis. 
  2. Structuring: Menyusun transaksi secara sistematis agar tampak legal dan tidak mencurigakan.
  3. Penggunaan pihak ketiga atau nominee: Menyembunyikan identitas pelaku melalui rekening atau perusahaan atas nama orang lain.
  4. Pembelian aset bernilai tinggi: Seperti properti, kendaraan mewah, atau barang koleksi untuk mengubah bentuk uang dan menyulitkan pelacakan.
  5. Konversi mata uang dan transfer lintas negara: Untuk mengaburkan asal-usul dana dan memanfaatkan yurisdiksi dengan pengawasan lemah.

Sanksi terhadap pelaku pencucian uang diatur dalam beberapa Pasal penting dalam UU TPPU dan KUHP Baru, di antaranya:

  1. Pasal 3 UU TPPU: Pelaku yang menempatkan, mentransfer, atau mengalihkan dana hasil kejahatan dapat dipidana penjara paling lama 20 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar. 
  2. Pasal 4 UU TPPU: Menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana juga dikenai sanksi serupa.
  3. Pasal 5 UU TPPU: Penerima atau penguasa dana hasil kejahatan dapat dikenai pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.
  4. Pasal 607 KUHP: Memperluas cakupan pelaku, termasuk pihak yang menerima, menguasai, atau menggunakan dana hasil kejahatan. Ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda kategori VII.

Pencucian uang merupakan kejahatan berdampak luas yang merusak sistem keuangan, memperkuat jaringan kriminal, dan melemahkan kepercayaan publik. Dengan modus yang semakin canggih dan lintas sektor, penanganannya menuntut kolaborasi erat antara lembaga pengawas, aparat penegak hukum, dan pelaku industri keuangan. Upaya deteksi dini, pelacakan aliran dana, serta penindakan tegas terhadap pelaku menjadi kunci dalam menjaga integritas ekonomi dan mencegah dana ilegal masuk kembali ke ruang publik yang sah.***

Baca juga: Pemblokiran Rekening Dormant oleh PPATK dari Kacamata Hukum

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Referensi: