Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum, sehingga dapat diartikan bahwa korporasi merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban dan dapat melakukan perbuatan hukum.
Sebagai subjek hukum korporasi (PT) mengemban hak dan kewajiban serta dapat melakukan perbuatan melawan hukum. Meskipun direksi adalah pihak yang bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan, apabila dinyatakan bersalah atau lalai menjalankan tugas.
Pidana Korporasi Dalam KUHP Baru
Sejak Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) versi terbaru ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) korporasi sebagai subjek hukum sudah dapat dipidana dengan diaturnya definisi, subjek serta jenis sanksi dalam tindak pidana korporasi di KUHP.
KUHP sebelumnya tidak mengatur tentang pemidanaan terhadap korporasi. Mekanismenya hanya diatur pada level Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi.
Dalam KUHP lama khususnya dalam pasal-pasal Bab II tentang Kejahatan dan Bab III tentang Pelanggaran terdapat unsur “Barang Siapa”. Menurut Prof. Moeljatno, S.H. dalam bukunya berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana” unsur ‘barang siapa’ adalah subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawabannya atau dengan kata lain yang menjadi subjek hukum adalah manusia (natuurlijk persoon).
Selanjutnya pada KUHP baru juga mengatur ketentuan pidana yang menyatakan bahwa setiap jenis korporasi yang ada di Indonesia baik berbadan hukum berbentuk PT, yayasan, koperasi, BUMN, BUMD serta perkumpulan baik berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.
Terdapat ketentuan pasal-pasal terkait pidana korporasi pada KUHP baru yang terdiri dari aturan umum dan tindak pidana korporasi. Untuk lebih jelasnya terkait pasal-pasal tersebut dapat klik disini.
Tak hanya terdapat di KUHP baru, tindak pidana korupsi juga diatur dalam Undang-Undang Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) khususnya Pasal 20 ayat (1). Pasal itu menyebutkan, apabila tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka korporasi dan atau pengurusnya dapat dikenakan sanksi pidana. pada kasus suap terhadap penyelenggara negara, selain korporasinya dipidana, pengurusnya juga dapat dituntut dan dipidana.
Selanjutnya pada Pasal 20 ayat (2) menyebutkan bahwa suatu korporasi dianggap melakukan tindak pidana, apabila tindak pidana dilakukan berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”. Frasa ”baik sendiri maupun bersama-sama” menegaskan bahwa pelakunya bisa satu orang atau beberapa orang secara bersama-sama.
Sanksi Pidana
Selain memuat ketentuan pidana terhadap korporasi, KUHP baru juga mengatur sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap korporasi itu sendiri serta pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, dan/atau pemilik manfaat Korporasi. Dengan demikian, apabila korporasi terbukti melakukan pidana, maka direksi dan/atau komisaris dapat dijerat dengan sanksi pidana penjara dan denda.
Tak hanya mengatur pidana umum, KUHP versi terbaru juga mengatur mengenai pidana khusus. Tindak pidana khusus dalam KUHP baru diatur dalam BAB XXXV. Adapun tindak pidana khusus tersebut adalah tindak pidana Hak Asasi Manusia (HAM), tindak pidana terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana Narkotika, permufakatan jahat, dan pembantuan tindak pidana khusus.
Guna mencegah tindak pidana korupsi, setiap korporasi dapat melakukan upaya pencegahan sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 Perma No. 13 Tahun 2016. Caranya dengan menerapkan governance, risk and compliance (GRC) dengan benar dan ketat dalam mengelola korporasi.