Isu perubahan iklim global telah mendorong banyak negara, termasuk Indonesia, untuk melakukan transisi energi menuju penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan. Pemerintah Indonesia telah menetapkan target bauran energi nasional dengan porsi EBT sebesar 23% pada tahun 2025. Untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat bagi perekonomian Indonesia, Pemerintah telah memberikan upaya strategi dalam menjamin ketersediaan energi nasional, salah satunya adalah dengan mendorong peralihan penggunaan energi fosil, menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT). Namun, di tengah upaya peralihan ini, energi fosil seperti batu bara dan minyak bumi masih mendominasi sektor energi nasional karena infrastruktur yang mapan dan biaya produksi yang relatif rendah. Situasi tersebut menimbulkan tantangan tersendiri, baik dari aspek hukum, politik kebijakan, maupun teknis dan ekonomi.
Persaingan EBT vs Energi Fosil
Energi memiliki peran vital dalam menunjang aktivitas manusia sehari-hari. Tanpa adanya energi, berbagai kegiatan seperti menyalakan penerangan, memasak, mengoperasikan kendaraan, dan aktivitas lainnya tidak dapat dilakukan. Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP Energi Nasional”) mendefinisikan energi sebagai kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika kimia, dan elektromagnetika.
Terdapat berbagai jenis sumber energi yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti energi fosil (energi tak terbarukan), energi baru, dan energi terbarukan. Energi terbarukan, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (“UU Energi”), didefinisikan sebagai energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Sedangkan energi fosil (energi tak terbarukan) adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang akan habis jika dieksploitasi secara terus-menerus.
Di Indonesia, komposisi penggunaan energi pada tahun 2023 masih didominasi oleh energi fosil, dengan batubara menyumbang sekitar 40,46%, minyak bumi sebesar 30,18%, dan gas bumi sekitar 16,28%. Sementara itu, kontribusi energi baru dan terbarukan masih relatif rendah, yakni hanya sekitar 13,09%, sebagaimana tercantum dalam laporan Dewan Energi Nasional (DEN).
Namun, pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di Indonesia secara bertahap terus ditingkatkan, sejalan dengan potensi sumber dayanya yang sangat besar. Kemajuan teknologi di bidang energi bersih turut mendorong percepatan tercapainya efisiensi biaya, sehingga semakin bersaing dan menarik minat para investor di sektor energi. Dadan Kusdiana selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Sekjen ESDM) mengatakan bahwa, harga listrik dari EBT sudah hampir setara dengan harga listrik berbahan fosil. Perkembangan ini diharapkan dapat membuat persaingan usaha yang seimbang antara penggunaan EBT dengan energi fosil.
Selain itu, kemajuan teknologi energi terbarukan, pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) telah menunjukkan penurunan biaya produksi di bawah 6 sen USD per Kilowatt Hour (kWh) yang sebelum itu harganya menyentuh USD 10,9 sen kWh. Dibandingkan dengan harga batubara acuan yang berbasis energi fosil, sebesar USD 130 per ton. Sehingga dengan harga acuan tersebut, diharapkan dapat bersaing secara konsisten dengan harga listrik berbahan fosil.
Dampak EBT bagi Geopolitik
Menurut Prof. Dr. Kuntoro Mangkusubroto selaku Ketua Dewan Pengarah Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), menegaskan bahwa energi terbarukan tengah menjadi isu yang memiliki potensi yang berdampak bagi geopolitik. Perkembangan teknologi yang pesat dan penurunan biaya produksi telah mendorong pertumbuhan energi terbarukan lebih cepat dibandingkan dengan sumber energi fosil lainnya karena secara ekonomis memiliki keunggulan mencakup manfaat dalam mengurangi pencemaran udara, serta mengatasi dampak perubahan iklim. Sehingga, menjadikan energi terbarukan sebagai bagian penting dari peta energi global.
Kemudian, berdasarkan laporan dari The International Renewable Energy Agency (IRENA) yang dilansir dari laman Institute for Essential Services Reform (IESR) dijelaskan bahwa secara garis besar, proses transisi energi global dapat dibagi ke dalam tiga tahapan utama. Tahap pertama ditandai dengan pertumbuhan pesat energi terbarukan yang telah berlangsung sejak tahun 2015. Tahap kedua menunjukkan bahwa seiring meningkatnya pemanfaatan energi terbarukan, permintaan terhadap bahan bakar fosil diperkirakan akan mencapai titik tertinggi dalam beberapa tahun mendatang diproyeksikan terjadi pada tahun 2025. Tahap ketiga adalah saat energi terbarukan mulai mendominasi dan secara bertahap menggantikan energi fosil, yang penggunaannya akan terus menurun secara global setelah melewati puncak permintaan pada pertengahan abad ini, yakni sekitar tahun 2050.
Strategi Menghadapi Persaingan di Bidang Energi
Seiring dengan meningkatnya adopsi teknologi energi terbarukan oleh berbagai negara, kompetisi di sektor energi surya secara global menjadi semakin ketat. Untuk tetap bersaing dan diminati di pasar yang semakin ramai, para pelaku usaha dituntut untuk terus berinovasi. Terdapat beberapa strategi yang perlu diimplementasikan, agar tetap mampu bersaing di sektor energi, di antaranya:
- Inovasi Teknologi dalam Menjaga Efisiensi
Pengembangan teknologi panel surya yang lebih efisien dan biaya rendah menjadi kunci untuk mengatasi kendala biaya yang masih dihadapi. penelitian dan pengembangan inovasi, seperti panel surya berbasis perovskite maupun teknologi penyimpanan energi, dapat mendorong peningkatan daya saing sekaligus menurunkan biaya produksi secara keseluruhan. - Dukungan Kebijakan Penggunaan EBT
Pemerintah perlu memberikan dukungan kebijakan yang stabil dan proaktif untuk perkembangan EBT. - Meningkatkan Peluang Investasi Proyek EBT
Sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan lembaga penelitian memegang peran penting dalam mempercepat inovasi serta penerapan teknologi energi baru, termasuk energi surya. Kolaborasi ini tidak hanya memperkuat ekosistem pendukung melalui penyediaan sumber daya dan keahlian, tetapi juga membuka peluang investasi yang menjanjikan bagi para investor di sektor EBT.
Persaingan antara Energi Baru Terbarukan (EBT) dan energi fosil di Indonesia mencerminkan dinamika transisi energi yang sedang berlangsung, di mana EBT mulai menunjukkan pertumbuhan positif meskipun bauran energi nasional masih didominasi oleh energi fosil. Secara global, penggunaan energi terbarukan diprediksi akan menggeser dominasi energi fosil dalam beberapa dekade ke depan. Untuk memperkuat posisi EBT di tengah persaingan ini, dibutuhkan strategi yang mencakup inovasi teknologi, regulasi yang konsisten, serta kemitraan yang solid antara pemerintah, industri, dan lembaga riset guna menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi pengembangan energi bersih dan berkelanjutan di Indonesia.***
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (“UU Energi”)
- Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 79/2014”)
Referensi:
- Pemerintah Optimistis EBT 23% Tahun 2025 Tercapai. Kementerian ESDM (Diakses pada tanggal 24 Juni 2025 pukul 15.23)
- Menteri ESDM: Ke Depan, EBT akan Lebih Kompetitif Dibandingkan Energi Fosil. Kementerian ESDM (Diakses pada tanggal 24 Juni 2025 pukul 15.31)
- Harga Keekonomian EBT Kian Kompetitif, Siap Bersaing dengan Energi Fosil. Kementerian ESDM (Diakses pada tanggal 24 Juni 2025 pukul 16.03)
- Geopolitik Energi Terbarukan. Institute for Essential Service Reform (IESR) (Diakses pada tanggal 25 Juni 2025 pukul 09.45)
- Menjaga Momentum Energi Surya: Solusi untuk Mengatasi Perlambatan Pasar Global. SolarKita (Diakses pada tanggal 25 Juni 2025 pukul 09.10)