Arbitrase, sebagai alat alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, telah menjadi salah satu opsi untuk menyelesaikan perselisihan di Indonesia. Namun demikian, terdapat sejumlah tantangan yang perlu diatasi agar arbitrase tetap efektif dan sesuai dengan dinamika.
Salah satu tantangan yang kerap dijumpai adalah munculnya gugatan permohonan keberatan terhadap putusan arbitrase yang diajukan oleh pihak yang kalah ke pengadilan. Selain masalah kepatuhan terhadap putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat, tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat juga masih perlu ditingkatkan. Perlu adanya sosialisasi terkait manfaat, proses, dan dampak positif dari proses arbitrase agar masyarakat mendukung penggunaannya dalam menyelesaikan sengketa.
Adanya titik lemah penyelesaian melalui mekanisme arbitrase ini diakui oleh Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung (MA) Prof Takdir Rahmadi. Seperti dikutip dari website Hukumonline.com, dia menjelaskan pemerintah Indonesia sejak awal sudah mengadopsi konvensi internasional terkait penyelesaian sengketa salah satunya terbitnya Undang-Undang No. 52 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal. Ketentuan ini mengadopsi konvensi PBB tahun 1965.
Selanjutnya terbit Keputusan Presiden (Keppres) No, 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan ‘Convention On The Recognition And Enforcement of Foreign Arbitral Awards’, Yang Telah Ditandatangani di New York pada Tanggal 10 Juni 1958 dan mulai berlaku pada Tanggal 7 Juni 1959. Regulasi internasional lain yang patut diperhatikan antara lain The UNCITRAL Arbitration Rules tahun 1976 yang direvisi tahun 2013 dan terakhir tahun 2021.
Ketentuan ini mengatur mekanisme pelaksanaan putusan arbitrase di suatu negara peserta konvensi melalui pengadilan di negara peserta lain. Selanjutnya MA melahirkan Perma No.1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing yang sebagian besar telah masuk dalam UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Selanjutnya Peraturan MA (Perma) No.14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. Beleid itu mengatur pelaksanaan putusan arbitrase syariah, dimana pengadilan agama yang berwenang melakukan eksekusi.
Tantangan Lainnya
Tantangan lainnya yang akan dijumpai pada masa depan adalah keterlibatan pihak ketiga dalam Penyelesaian Sengketa. Pihak ketiga, seperti mediator atau ahli teknis, seringkali diperlukan dalam proses arbitrase. Tantangan di masa depan adalah memastikan ketersediaan dan kualitas pihak ketiga tersebut agar dapat memberikan kontribusi maksimal dalam penyelesaian sengketa.
Selanjutnya adalah harmonisasi regulasi. Meskipun Indonesia telah mengadopsi hukum arbitrase yang global, namun pada prakteknya masih dijumpai ketidak harmonisan antara regulasi nasional dan kebijakan arbitrase internasional. Perlu langkah-langkah konkret untuk menyelaraskan regulasi dan memastikan bahwa peraturan arbitrase dapat diimplementasikan dengan konsisten.
Terakhir tantangan terkait infrastruktur arbitrase di Indonesia, termasuk fasilitas pendukung dan tenaga ahli yang berkualitas. Perlu adanya investasi dalam penyelenggaraan acara arbitrase, pelatihan para arbitrator, dan peningkatan kapasitas untuk meningkatkan daya saing Indonesia sebagai pusat arbitrase global.
Baca Juga: Ini, Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penyusunan Klausul Arbitrase