Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Secara garis besar, semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Merujuk pada ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Kehutanan)

telah memberikan wewenang kepada pemerintah untuk;

  1. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
  2. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau bukan kawasan hutan; dan
  3. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Merujuk pada point “B” di atas, pemerintah dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) memiliki wewenang menetapkan suatu wilayah untuk dijadikan kawasan hutan. Namun kewenangan yang dimiliki Pemerintah c.q. Kementerian LHK tidak serta merta dapat dijadikan landasan untuk menetapkan lahan hak milik sebagai kawasan hutan. Hal ini dapat dilihat dari amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-IX/2011 tanggal 16 Juli 2012, yang selengkapnya kami kutip sebagai berikut:

“Mengadili,

Menyatakan:

  •         Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
  •         …,
  •       Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.

Dari amar putusan MK Nomor 34/PUU-IX/2011, secara tegas menyatakan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap wajib memperhatikan keberadaan hak masyarakat hukum adat maupun hak atas tanah masyarakat yang diberikan berdasarkan perundang-undangan. Sudah sepatutnya suatu kawasan yang telah diberikan hak atas tanah berupa hak milik tidak dapat ditetapkan sebagai kawasan hutan.

Apabila –quod non– terhadap kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan, maka pemegang hak milik atas tanah dapat menempuh upaya hukum penyelesaian sengketa sebagai berikut:

Mengajukan Permintaan Kompensasi 

Merujuk pada ketentuan Pasal 68 ayat (4) UU Kehutanan, diketahui setiap orang berhak memperoleh kompensasi yang diakibatkan hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan. Berikut kutipannya;  

“Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya  sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan  perundang-undangan yang berlaku.”

Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum

Apabila hak tanah milik seseorang ditetapkan sebagai kawasan hutan tanpa adanya pemberian kompensasi (ganti rugi), maka penetapan tersebut dapat dikategorikan bertentangan dengan Pasal 4 ayat 3 UU Kehutanan jo. Putusan MK Nomor 34/PUU-IX/2011. Penetapan itu juga dapat dikualifisir sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur 1365 KUHPerdata. Pemegang hak milik yang merasa dirugikan dapat menggunakan haknya untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum diikuti dengan ganti rugi atas kerugian yang dialaminya.

Selengkapnya ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata dikutip sebagai berikut:

“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”

Mengajukan Gugatan Tata Usaha Negara (TUN)

Keputusan Menteri LHK sehubungan penetapan kawasan hutan merupakan keputusan tata usaha negara yang dapat menjadi objek sengketa dalam peradilan tata usaha negara.

Berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (UU PTUN) pada pokoknya mengatur, apabila terdapat pihak yang merasa kepentingannya dirugikan atas suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis dengan alasan keputusan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Selengkapnya Pasal 53 UU PTUN dikutip sebagai berikut:

(1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau  direhabilitasi.

(2)  Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana

      dimaksud pada ayat (1) adalah:

  1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan

      peraturan  perundang-undangan yang berlaku;

  • Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan

      asas-asas umum pemerintahan yang baik.”

Perlu diketahui, berdasarkan penjelasan Pasal 53 UU PTUN, gugatan TUN tidak dapat disertai dengan permintaan ganti rugi. Hal ini dikarenakan permintaan ganti rugi dalam gugatan TUN hanya dapat dimintakan dalam sengketa kepegawaiannya.

Baca Juga: Status Kepemilikan Apartemen, Jika Jangka Waktu HGB Berakhir