Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang atau disebut UU Kepailitan & PKPU menyatakan yang dimaksud kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Harta tindak pidana dalam perkara kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. 

Sejak putusan pailit diucapkan, debitor pailit tidak lagi memiliki wewenang untuk melakukan segala tindakan hukum terhadap harta kekayaannya tersebut. Hal itu dipertegas oleh bunyi Pasal 24 UU Kepailitan & PKPU. Pasal ini menyatakan sejak diucapkannya pernyataan pailit debitur kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Debitur pailit tidak lagi berhak untuk memindahtangankan harta pailit, seperti menjual, menyewakan, meminjamkan, mentransfer, dan lain sebagainya. 

Pasal 22 UU Kepailitan & PKPU memberikan pengecualian terkait beberapa benda yang tidak termasuk dalam harta pailit, yaitu hewan peliharaan, benda-benda yang digunakan debitur untuk mencari nafkah, peralatan kesehatan, dan kebutuhan pangan yang dibutuhkan keluarganya selama 30 hari ke depan. Segala benda yang diperoleh dari upah, uang tunjangan, dan uang pensiun tidak termasuk harta dalam boedel pailit.

Sita Harta Pidana Dalam Perkara Pailit

Lalu bagaimana jika dalam sita harta debitur pailit terdapat atau mengandung unsur harta yang diperoleh dari perbuatan tindak pidana? 

Sita terhadap suatu pailit tentu berbeda dengan sita dalam perkara pidana. Benda sitaan umum dalam kepailitan berada dibawah kekuasaan kurator untuk dilakukan pemberesan, sementara benda sitaan pidana berada di bawah kekuasaan negara. 

Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) Nindyo Pramono, terdapat konflik norma antara Pasal 39 ayat (2) KUHAP dengan Pasal 31 ayat (2) UU Kepailitan & PKPU. Jika merujuk pada beberapa Yurisprudensi, Nindyo menilai sita kepailitan berkedudukan lebih kuat dari sita pidana untuk tujuan penyidikan.

Namun dalam kasus tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sita pidana harus didahulukan dari sita kepailitan karena menyangkut uang rakyat. Konsep mendahulukan sita kepailitan dibanding sita pidana tidak dapat digeneralisir. 

“Tidak bisa kita generalisasi bahwa semuanya harus Kurator yang dimenangkan. Jika peristiwa korupsinya dengan dahsyat, seperti case Jiwasraya dan Asabri, tidak tertutup kemungkinan case-case BUMN lain, yang menghancurkan uang negara sampai puluhan triliun rupiah,” kata Nindyo seperti dilansir dari website Hukumonline.com. 

Di sisi lain ada yang menyampaikan pandangan berbeda di mana persoalan PKPU dan Kepailitan bukanlah sekedar ranah privat yang hanya mengedepankan kepentingan pelaku usaha. 

Dalam konteks ini, ketika satu putusan pengadilan tipikor menyatakan terdakwa terbukti melakukan korupsi dan merugikan keuangan negara, setelah putusan berkekuatan hukum tetap dan negara memiliki hak untuk menuntut recovery.

Jika perkara pidana dan pailit berjalan secara bersamaan, pembagian harta dapat dilakukan secara sita umum oleh kurator. Upaya ini bisa dilakukan setelah proses penyidikan dan penuntutan, dan kemudian pengelolaan dan pemberesan dilakukan kurator. Jika negara memiliki tagihan atas perkara pidana, maka negara dapat memasukkan tagihan tersebut kepada kurator dalam proses kepailitan.

Namun apapun persoalan hukum yang tengah Anda hadapi tak ada salahnya jika berkonsultasi dengan konsultan hukum yang menguasai hukum Kepailitan & PKPU. Tentunya dengan berkonsultasi dengan pengacara yang tepat, Anda dapat mencari solusi atas persoalan yang dihadapi.

Baca Juga: Mengenal Jenis-Jenis Kreditur Dalam Perkara Kepailitan