Perubahan iklim yang semakin nyata, serta meningkatnya kebutuhan energi secara global telah mendorong pergeseran paradigma menuju sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Di Indonesia, urgensi transisi energi menjadi isu penting, mengingat ketergantungan pada energi fosil masih tinggi sementara cadangan sumber daya tersebut semakin menipis. Untuk menjawab tantangan ini, pemerintah telah merancang kerangka regulasi dan kebijakan yang memadai guna mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT), yang tidak hanya berperan sebagai sumber energi ramah lingkungan tetapi juga sebagai peluang investasi jangka panjang.
Energi baru terbarukan bukan sekadar opsi cadangan, melainkan menjadi tulang punggung dalam mewujudkan ketahanan energi nasional. Pemerintah Indonesia melalui berbagai regulasi telah menunjukkan komitmen serius untuk mengakselerasi pengembangan energi bersih. Dalam hal ini, EBT bukan hanya instrumen pengendalian emisi karbon, tetapi juga menjadi sektor ekonomi strategis yang dapat mendorong pertumbuhan investasi, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan daya saing nasional. Namun, untuk mewujudkan visi tersebut, diperlukan kerangka hukum yang kokoh, insentif yang kompetitif, dan strategi investasi yang terarah.
Kerangka Hukum Pengembangan Energi Baru di Indonesia
Regulasi yang menjadi pijakan utama dalam pengembangan energi baru di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (“UU Energi”). Dalam Pasal 3 huruf c menyatakan bahwa:
Dalam rangka mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, tujuan pengelolaan energi adalah untuk tersedianya sumber energi dari dalam negeri dan/atau luar negeri untuk:
- Pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri;
- Pemenuhan kebutuhan bahan baku industri dalam negeri; dan
- Peningkatan devisa negara.
Peningkatan devisa negara menjadi salah satu dampak ekonomi penting dari pengembangan energi baru, khususnya ketika Indonesia berhasil mengekspor teknologi, jasa, atau produk berbasis energi terbarukan. Misalnya, dengan berkembangnya industri panel surya dan baterai di dalam negeri, Indonesia dapat menjadi pusat manufaktur yang mengekspor komponen energi bersih ke negara lain, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Salah satu tujuannya adalah peningkatan devisa negara melalui sektor energi yang terintegrasi dan berorientasi nilai tambah. Pemerintah telah mendorong hilirisasi sektor energi, khususnya pertambangan, agar tidak lagi mengekspor bahan mentah seperti nikel dan batubara, melainkan mengolahnya menjadi produk turunan seperti baterai litium, biodiesel, dan biofuel berbasis minyak sawit. Strategi ini terbukti memberikan kontribusi besar terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dengan capaian lebih dari Rp1.800 triliun selama satu dekade terakhir serta peningkatan nilai ekspor dari besi baja hasil olahan nikel sebesar USD 34,4 miliar pada tahun 2023.
Selain itu, proyek-proyek energi bersih yang dibiayai oleh investor asing juga dapat menciptakan arus masuk modal (foreign direct investment/FDI) yang memperkuat neraca pembayaran nasional. Penurunan impor bahan bakar fosil akibat substitusi oleh EBT juga berdampak langsung pada penghematan devisa dan peningkatan cadangan devisa negara. Dengan kata lain, EBT berkontribusi ganda, baik melalui ekspor maupun penghematan impor, terhadap penguatan posisi ekonomi Indonesia di tingkat global.
Lebih lanjut, kebijakan energi nasional dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 79/2014”). PP 79/2014 ini menargetkan bauran energi nasional minimal 23% dari EBT pada tahun 2025 dan meningkat menjadi minimal 31% pada 2050. Kebijakan ini menjadi roadmap yang memberi arah jelas terhadap pengembangan sektor EBT.
Untuk mempercepat investasi dan mengatasi hambatan tarif, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan (“Perpres 112/2022”) untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Perpres ini menekankan pentingnya percepatan perizinan, dukungan fiskal maupun nonfiskal, serta perlunya menjamin ketersediaan lahan terhadap proyek-proyek energi terbarukan.
Indonesia sebagai Magnet Investasi Hijau
Indonesia semakin menegaskan posisinya sebagai magnet investasi hijau di kawasan Asia Tenggara, berkat kombinasi antara kekayaan sumber daya alam, komitmen kebijakan transisi energi, dan dukungan regulasi yang progresif. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah menandatangani komitmen investasi senilai USD 22 miliar atau sekitar Rp358,4 triliun untuk pengembangan kawasan industri hijau berkelanjutan, termasuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya skala besar di Batam, Bintan, dan Tanjung Pinang. Langkah ini bukan hanya mencerminkan keseriusan pemerintah dalam mendorong ekonomi hijau, tetapi juga menunjukkan daya tarik Indonesia di mata investor global yang semakin selektif terhadap aspek keberlanjutan dan dampak lingkungan.
Selain itu, dalam laporan Detik, pasar Indonesia sangat menjanjikan karena permintaan energi yang terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan populasi. Selain itu, Indonesia memiliki sumber daya yang melimpah untuk pembangkit EBT, seperti panas bumi di Pulau Sumatera dan Sulawesi, serta potensi solar panel di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Potensi Indonesia sebagai pusat investasi hijau juga diperkuat oleh proyeksi pertumbuhan sektor energi bersih, ekonomi sirkular, dan teknologi rendah karbon yang diperkirakan akan menciptakan jutaan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan PDB tambahan hingga USD 120 miliar di kawasan Asia Tenggara. Sumber daya energi terbarukan seperti tenaga surya, hidro, panas bumi, dan bioenergi tersebar luas di berbagai wilayah Indonesia, menjadikan negara ini sebagai kandidat utama dalam perdagangan karbon dan ekspor energi bersih. Pemerintah pun telah mengintegrasikan visi ekonomi hijau ke dalam RPJPN 2024–2045, dengan fokus pada pembangunan berkelanjutan dan transformasi kelembagaan yang mendukung investasi hijau secara sistemik.
Baca juga: Intip Dukungan Pemerintah terhadap Proyek Energi Baru, Bertabur Insentif Pajak!
Insentif dan Kemudahan bagi Investor Energi Bersih
Pemerintah tidak tinggal diam dalam menarik investasi ke sektor EBT. Berbagai insentif fiskal dan non-fiskal telah disiapkan. Berdasarkan Perpres 112/2022, investor yang menanamkan modal di sektor EBT berhak memperoleh kemudahan perizinan, insentif pajak, serta akses pendanaan melalui skema hijau. Dalam Pasal 22 ayat (1) Perpres 112/2022, menyatakan bahwa:
“Dalam melaksanakan pengembangan pembangkit Tenaga Listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan, Badan Usaha diberikan insentif dalam bentuk fiskal maupun nonfiskal.”
Dalam penjelasannya, Perpres ini mendorong kementerian/lembaga terkait, termasuk Kementerian Keuangan untuk memberikan dukungan fiskal berupa pembebasan atau pengurangan pajak tertentu bagi proyek-proyek EBT.
Selanjutnya melalui Pasal 22 ayat (2) Perpres 112/2022, dijelaskan lebih mendalam bahwa insentif fiskal dapat berupa:
- Fasilitas pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
- Fasilitas impor berupa pembebasan bea masuk impor dan/atau pajak dalam rangka impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan;
- Fasilitas pajak bumi dan bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
- Dukungan pengembangan panas bumi; dan/atau
- Dukungan fasilitas pembiayaan dan/atau penjaminan melalui badan usaha milik negara yang ditugaskan pemerintah.
Pemberian insentif ditujukan untuk menekan biaya produksi energi dari pembangkit EBT, yang selama ini dinilai kurang bersaing jika dibandingkan dengan sumber energi fosil. Melalui kebijakan fiskal yang mendukung, tarif listrik dari EBT diharapkan menjadi lebih ekonomis dan mampu menarik minat investasi. Hasilnya, listrik yang dihasilkan oleh pembangkit EBT bisa dipasarkan dengan harga yang lebih bersaing, sehingga mendorong partisipasi investor dari dalam dan luar negeri serta membuka ruang investasi jangka panjang di sektor energi berkelanjutan.
Ke depannya, pengembangan EBT bukan hanya menjadi kewajiban moral dalam menghadapi perubahan iklim, tetapi juga menjadi pilar investasi yang menjanjikan. Dengan dukungan regulasi, insentif, dan potensi sumber daya yang luar biasa, Indonesia berada di jalur yang tepat untuk menjadi pemain utama dalam industri energi bersih regional.
Kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, lembaga keuangan, dan masyarakat akan menjadi kunci sukses transformasi energi ini. Investasi pada sektor EBT bukan hanya akan menghasilkan keuntungan ekonomi, tetapi juga menyelamatkan generasi mendatang dari krisis iklim global.***
Baca juga: Strategi Pajak dalam Mendorong Transisi Energi Baru Terbarukan di Indonesia
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (“UU Energi”).
- Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 79/2014”).
- Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan (“Perpres 112/2022”).
Referensi:
- Hilirisasi Pacu Lompatan Pertumbuhan Sektor ESDM. Indonesia.go.id. (Diakses pada 22 Juli 2025 pukul 16.59 WIB).
- Indonesia Teken Investasi Rp358 Triliun di Bidang Ekonomi Hijau. CNBC. (Diakses pada 22 Juli 2025 pukul 17.59 WIB).
- RI Punya Pasar dan Sumber Daya EBT Menggiurkan, Investor Bakal Antre Masuk. detik.com. (Diakses pada 22 Juli 2025 pukul 18.01 WIB).
- Peluang Indonesia di Tengah Lonjakan Investasi Hijau Asia Tenggara. Kompas.com. (Diakses pada 22 Juli 2025 pukul 18.03 WIB).