Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang melanda dunia akhir-akhir ini dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global yang tidak menentu. Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kemenko Perekonomian, Iskandar Simorangkir seperti dikutip dari tirto.id menganalisa, terdapat dua penyebab maraknya PHK yakni demand terhadap produk yang belum sepenuhnya stabil pasca pandemi dan banyaknya perusahaan besar sudah berhasil membangun sistem teknologi sehingga tidak membutuhkan jumlah pekerja yang besar.

PHK massal terjadi ketika puluhan atau ratusan bahkan ribuan pekerja diberhentikan dalam waktu bersamaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 1 angka 25 adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. PHK ada 4 jenis, sebagaimana ketentuan Undang-undang Cipta Kerja.

Pertama, PHK demi hukum yang terjadi ketika pekerja meninggal dunia, pensiun, atau adanya penolakan oleh Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) atas permohonan perusahaan untuk tidak melanjutkan hubungan kerja dengan karyawannya.

Kedua, PHK akibat melanggar perjanjian kerja, adalah pemutusan hubungan kerja karena karena salah satu pihak telah melanggar atau menyalahi perjanjian kerja yang telah ditetapkan.

Ketiga, karena kondisi tertentu mengharuskan terjadinya PHK seperti sakit dalam waktu lama. PHI dimungkinkan mengingat kebutuhan perusahaan dan ada kendala pembiayaan. Jika PHK diakibatkan terjadinya pelanggaran yang tidak bisa diterima, perusahaan tidak memberikan pesangon atau penghargaan masa kerja.

Keempat, PHK sepihak yakni kondisi dimana terjadi pemutusan hubungan kerja oleh satu pihak seperti pekerja tidak datang ke kantor dalam waktu beberapa hari tanpa keterangan. Pemerintah telah mengesahkan PP No 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja. PP ini merupakan turunan dari UU Cipta Kerja yang diberlakukan sejak 2 Februari 2021 lalu.

Dikutip dari bisnis.com, dalam Pasal 36 PP No 35/2021 dinyatakan, alasan terjadinya PHK antara lain karena terjadi perubahan seperti peleburan, efisiensi atau perusahaan dalam kondisi bangkrut. Sementara dari sisi pekerja, PHK bisa terjadi karena adanya tindakan kekerasan yang mengancam pekerja, perusahaan tidak membayar upah, tidak sesuai dengan kontrak kerja atau pekerja mengundurkan diri.

PP No 35 Tahun 2021 juga mengatur besaran pesangon yang diberikan kepada pekerja yakni, masa kerja kurang dari 1 tahun sebesar 1 bulan upah, masa kerja 1 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 2 tahun sebesar 2 bulan upah. Kemudian masa kerja 2 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 3 tahun sebesar 3 bulan upah, hingga maksimal 9 bulan upah untuk masa kerja 8 tahun ke atas.

Selain uang pesangon, perusahaan juga diwajibkan memberikan uang penghargaan masa kerja yang sudah bekerja minimal 3 tahun, dengan besaran 2 kali upah bulanan. Sedangkan pegawai yang memiliki masa kerja lebih dari 24 tahun diberikan maksimal 10 kali upah bulanan.

Baca Juga: Resign Kerja Menurut Ketentuan Hukum