Adanya perlindungan hukum dalam ketentuan hukum untuk melindungi pihak ketiga yang asetnya dirampas negara terkait kasus tindak pidana korupsi dirasakan masih belum banyak peraturan atau perundang-undangan yang mengaturnya. Hal ini juga berlaku atas ketentuan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut ‘’UU Tipikor’’.

Pihak ketiga beritikad baik, tapi merasa dirugikan karena haknya dirampas dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) paling lambat dua bulan pasca putusan Majelis Hakim diucapkan pada sidang terbuka untuk umum. Meskipun UU Tipikor telah memberikan perlindungan hukum bagi pihak beritikad baik, namun UU Tipikor tidak mengatur secara rinci hukum acara  pengajuan dan pemeriksaan terkait permohonan keberatan tersebut.

Dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, pengadilan memiliki  kewenangan menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang/aset milik perusahaan menjadi milik negara. Tapi pada praktiknya, bisa jadi barang/aset yang dirampas itu milik pihak ketiga, sehingga menimbulkan kerugian atas tindakan perampasan tersebut.

Untuk menjamin hak dan perlindungan hukum terhadap pihak ketiga Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan Peraturan MA (PERMA) No. 22 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga yang Beritikad Baik terhadap Putusan Perampasan Barang  Bukan Kepunyaan Terdakwa dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi. Dalam aturan ini pihak ketiga dapat mengajukan keberatan secara tertulis terhadap putusan perampasan barang/aset ke pengadilan.

Berdasarkan Pasal 2 Perma tersebut, pengadilan yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara adalah Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Militer, atau Pengadilan Militer Tinggi. Sedangkan pihak ketiga yang beritikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) adalah pemilik, pengampu, wali dari pemilik barang, atau kurator dalam perkara kepailitan.

Pihak kurator hanya diperbolehkan mengajukan permohonan keberatan, apabila putusan pernyataan pailit diucapkan sebelum dimulainya penyidikan. Pasal 4 ayat (1) Perma 2/2022 mengatur adanya keberatan yang dapat diajukan paling lambat dua bulan setelah putusan pengadilan atas perkara pokok. Dalam hal putusan banding atau kasasi, keberatan diajukan paling lambat dua bulan pasca petikan/salinan putusan diterima penuntut umum dan terdakwa dan/atau setelah diumumkannya putusan tersebut.

Sementara, Pasal 4 ayat (2) mengatur pengajuan keberatan dapat diajukan sebelum maupun setelah objek yang dimohonkan dilakukan eksekusi.  Apabila keberatan diajukan sebelum eksekusi, maka keberatan itu tidak bisa menghalangi proses eksekusi.  Apabila keberatan itu diajukan setelah eksekusi, maka Menteri Keuangan dapat dijadikan sebagai Turut Termohon.

Dalam hal terdapat lebih dari satu keberatan yang diajukan oleh pihak berbeda secara terpisah atas objek barang yang sama dalam putusan perkara korupsi yang sama, berdasarkan Pasal 7 Perma 2/2022, ketua pengadilan menetapkan pemeriksaan permohonan keberatan tersebut dijadikan satu nomor registrasi perkara. Sementara apabila ada pengajuan keberatan dari pihak lain atas objek dan putusan yang sama setelah dilakukan penunjukan majelis hakim, ketua pengadilan dapat menunjuk majelis hakim yang sama untuk memeriksa permohonan keberatan tersebut.

Terkait biaya, Pasal 14 menetapkan permohonan pengajuan keberatan tidak dipungut biaya alias gratis. Berdasarkan Pasal 11 majelis hakim dapat memutus keberatan dalam bentuk penetapan. Pihak pemohon, termohon, dan turut termohon keberatan dapat mengajukan upaya hukum banding hingga kasasi. Namun dalam perkara permohonan keberatan tidak dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK), sebagaimana diatur Pasal 20 Perma 2/2022.

Pasal 16 Perma 2/2022 mengatur permohonan kasasi wajib disertai memori kasasi yang diajukan bersama dengan pernyataan kasasi dan permohonan keberatan tersebut diregister pada Kepaniteraan Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung. Jika permohonan kasasi tidak disertai dengan memori kasasi, ketua pengadilan dapat membuat ketetapan bahwa permohonan kasasi tidak dapat diterima dan berkas perkara tidak akan dikirim ke MA, sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (2).

Pihak ketiga yang beritikad baik dalam memperoleh kembali barang miliknya yang dirampas dalam tindak pidana korupsi telah mendapatkan perlindungan hukum sepanjang pihak ketiga mampu membuktikan bahwa dirinya tidak terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana.

Baca Juga: Teori dan Pemahaman Pasal 55 KUHPidana