Kesepakatan yang diikat melalui perjanjian harus dibuat secara rinci demi melindungi kepentingan semua pihak, salah satunya perjanjian perkawinan.  Perjanjian perkawinan merupakan salah satu instrumen hukum yang semakin banyak dipertimbangkan oleh pasangan yang ingin mengatur kepemilikan aset selama dan setelah pernikahan. Ada berbagai alasan pasangan membuat perjanjian perkawinan, salah satunya untuk menjamin keamanan terkait harta. Perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu sebelum dilangsungkannya perkawinan ataupun setelah menikah, yakni selama dalam ikatan perkawinan. Dalam konteks hukum di Indonesia, dasar hukum terkait perjanjian perkawinan diatur dalam UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)  dan Bab VII Perjanjian Perkawinan KUHPerdata. Salah satu isi daripada perjanjian perkawinan adalah mengenai perjanjian pisah harta yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi masing-masing pihak dalam pengelolaan harta mereka.

Pembuatan perjanjian pisah harta dalam perkawinan bertujuan untuk menghindari benturan hak milik, sebab hak seseorang atas kepemilikan harta benda pun telah memiliki aturan yang kuat sebagaimana dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) bahwa setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum. Dan dalam Pasal 36 ayat (2) disebutkan bahwa tidak seorang pun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. 

Terkait dengan perjanjian pisah harta telah termaktub dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal tersebut perjanjian pisah harta hanya dapat dibuat sebelum dilangsungkannya perkawinan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015  tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“Putusan MK No.69/PU-XIII/2015”) yang mengubah ketentuan Pasal tersebut sehingga perjanjian perkawinan dapat dibuat pasca perkawinan dilaksanakan, di antaranya:

  1. Perjanjian pisah harta secara tertulis dapat dilakukan sebelum dilangsungkannya atau selama dalam ikatan perkawinan dengan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris;
  2. Perjanjian berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ada ketentuan lain di dalamnya;
  3. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian berisi mengenai harta atau perjanjian lainnya. Perjanjian pisah harta setelah menikah tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila ada persetujuan kedua belah pihak dan selama perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga;

Jika tidak terdapat perjanjian perkawinan sebelum dilangsungkannya perkawinan, maka semua harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama suami dan istri dan akan menjadi harta gono-gini ketika pasangan tersebut bercerai. 

Apabila putusnya tali perkawinan antara suami dan istri pembagiannya ditentukan dalam Pasal 128 sampai dengan Pasal 129 KUHPerdata, yakni:

  1. Pada Pasal 128 KUHPerdata disebutkan bahwa setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu. Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Bab XVII Buku Kedua, mengenai pemisahan harta peninggalan, berlaku terhadap pembagian harta bersama menurut Undang-Undang;
  2. Sementara dalam Pasal 129 KUHPerdata menyebut pakaian, perhiasan, dan perkakas untuk mata pencaharian salah seorang dari suami istri itu, beserta buku-buku dan koleksi benda-benda kesenian dan keilmuan, dan akhirnya surat-surat atau tanda kenang-kenangan yang bersangkutan dengan asal-usul keturunan salah seorang dari suami istri itu, boleh dituntut oleh pihak asal benda itu, dengan membayar harga yang ditaksir secara musyawarah atau oleh ahli-ahli. 

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU Perkawinan.

 Baca juga: Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Membuat Perjanjian Pranikah

Daftar Hukum: