Perjanjian distribusi produk menjadi bagian integral dalam sebuah aktivitas bisnis yang kerap kali melibatkan berbagai pihak untuk menjamin kelancaran pasokan barang dari produsen hingga konsumen akhir. Perjanjian distribusi produk diperlukan tiap lembaga distributor yang mempengaruhi cara kerja dalam menjalankan usahanya. Dasar hukum perjanjian distribusi produk di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang menetapkan prinsip-prinsip umum bagi semua jenis perjanjian, termasuk perjanjian distribusi.
Dalam Pasal 1319 KUHPerdata, disebutkan bahwa semua persetujuan, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain. Perjanjian distribusi produk tidak secara khusus dikenal dalam KUHPerdata, meski demikian dapat digolongkan dalam perjanjian tidak bernama atau innominaat, serta keberadaannya dimungkinkan berdasarkan asas konsensualisme.
Berdasarkan asas konsensualisme, perjanjian yang dilakukan harus memenuhi beberapa syarat untuk sahnya suatu perjanjian. Perjanjian distribusi harus memenuhi syarat-syarat umum perjanjian. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata bahwa supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat, yakni:
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu pokok persoalan tertentu;
- Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dalam dunia bisnis, pentingnya perjanjian distribusi menjadi suatu hal yang tidak dapat diabaikan. Perjanjian distribusi menjadi kontrak yang mengikat antara produsen dan distributor yang mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak. Sifat mengikat suatu perjanjian telah ditetapkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berbunyi:
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-undang berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh Undang-Undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Sebuah perjanjian distribusi produk setidaknya harus memuat beberapa poin yang diatur dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2021 tentang Perikatan Untuk Pendistribusian Barang oleh Distributor atau Agen (“Permendag 24/2021”) di antaranya:
- Nama dan alamat lengkap pihak-pihak yang membuat perjanjian;
- Maksud dan tujuan perjanjian;
- Status keagenan dan kedistributoran;
- Jenis barang yang diperjanjikan;
- Wilayah pemasaran;
- Hak dan kewajiban masing-masing pihak;
- Kewenangan;
- Jangka waktu perjanjian;
- Cara pengakhiran perjanjian;
- Cara penyelesaian perselisihan;
- Hukum yang dipergunakan; dan
- Tenggang waktu penyelesaian.
Baca juga: Pentingnya Asas Konsensualisme dalam Perjanjian Jual Beli dan Sewa Menyewa
Tanpa adanya perjanjian distribusi yang baik, potensi konflik antara produsen dan distributor bisa saja meningkat, mengingat adanya perbedaan kepentingan dan persepsi. Perjanjian distribusi yang baik akan memuat klausul-klausul yang mengatur jalannya bisnis. Hal ini bertujuan untuk memastikan kerja sama yang harmonis dan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Setiap bentuk perjanjian kerja sama distribusi memiliki karakteristik dan aspek hukum yang berbeda. Maka, sangat penting untuk menyusun perjanjian yang disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan bisnis yang spesifik.
Perjanjian kerja sama distribusi dapat dibedakan menjadi dua, yakni sebagai berikut:
- Perjanjian Distribusi Hak Eksklusif
Perjanjian ini memberikan hak kepada distributor untuk menjadi satu-satunya distributor yang diberikan kewenangan untuk mendistribusikan produk di wilayah tertentu. Dalam perjanjian ini, terdapat target penjualan yang harus tercapai agar distributor dapat mempertahankan ekslusivitasnya.
- Perjanjian Distribusi Non-Hak Eksklusif
Merupakan perjanjian yang memberikan kebebasan kepada produsen untuk menggunakan beberapa distributor dalam wilayah yang sama. Dalam hal ini, distributor tidak memiliki hak eksklusif untuk mendistribusikan produk di wilayah yang ditunjuk.
Terkait dengan perjanjian distributor yang masih berlaku dapat diakhiri sebelum masa perjanjian berakhir apabila memenuhi beberapa hal sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (1) Permendag 24/2021, jika:
- Perusahaan dibubarkan;
- Perusahaan berhenti melakukan kegiatan usahanya;
- Bangkrut/pailit; dan/atau
- Disepakati oleh kedua belah pihak.
Perjanjian distribusi menjadi instrumen hukum yang penting dalam menjaga kelancaran distribusi produk dan memastikan bahwa kepentingan produsen dan distributor dilindungi. Dalam menyusun perjanjian distribusi, sangat penting untuk melibatkan ahli hukum yang berpengalaman untuk dapat menjamin semua aspek telah diatur secara jelas dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Melalui hal ini, pihak-pihak yang terlibat dalam kerja sama dapat menghindari potensi konflik yang dapat merugikan kedua belah pihak.
Baca juga: Fungsi, Manfaat, dan Jenis HKI Dalam Perlindungan Produk
Daftar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
- Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2021 tentang Perikatan Untuk Pendistribusian Barang oleh Distributor atau Agen (“Permendag 24/2021”).
Referensi:
- Aspek-Aspek Hukum Lembaga Distributor dan Keagenan. Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H. (Diakses pada 6 Januari 2025 pukul 10.26 WIB).
- Pedoman Perjanjian Kerja Sama Distribusi. Reza Aldo Agusta. (Diakses pada 6 Januari 2025 pukul 10.26 WIB).