Perkembangan teknologi informasi di dunia dewasa ini memudahkan seseorang untuk mendapatkan informasi di seluruh belahan dunia, termasuk produk-produk yang yang melekat pada kehidupan sehari-hari.  Produk-produk tersebut umumnya memiliki “merek” sebagai identitas yang membedakannya dengan dengan produk-produk lain yang sejenis.

Merek menjadi penting bagi konsumen karena dari merek tersebutlah mereka dapat mengetahui kualitas dan ciri khas produk-produk yang ada di pasaran.

Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menyatakan bahwa merek adalah suatu tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa.

Dalam pelaksanaannya, proses pendaftaran merek tersebut acap terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.  Misalnya, mengajukan pendaftaran merek dengan mengikuti merek terkenal yang sudah terdaftar sebelumnya maupun memproduksi barang-barang palsu dengan menggunakan logo merek-merek terdaftar untuk kepentingan ekonomi pribadinya.

Direktorat Jenderal Kekayaan  Intelektual (DJKI) adalah suatu organ pemerintah yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk menangani Hak Kekayaan Intelektual.  DJKI tidak hanya diberikan wewenang untuk melakukan pendaftaran yang bersifat administratif namun juga kewenangan untuk penegakan hukum yang bersifat yuridis.

DJKI memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana Kekayaan Intelektual dengan mengacu pada KUHP sebagai hukum formil sesuai Pasal 99 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2016 sebagai berikut:

Selain pejabat penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana merek

Secara umum tindak pidana kekayaan intelektual bersifat delik aduan, yaitu pihak yang mengadukan haruslah pihak yang mengalami kerugian, yang mana pengaduan merupakan syarat untuk penuntut umum melakukan penuntutan.

Berdasarkan prinsip First to File, atau pihak yang mengajukan permohonan pertama yang mendapat pelindungan hukum, maka pihak yang dapat mengajukan aduan adalah pemilik merek dan/atau pemegang hak atas merek terhadap merek yang telah terdaftar maupun merek yang masih dalam proses permohonan pendaftaran merek di DJKI.

Mereka inilah yang dapat membuat laporan atau mengajukan ajuan terkait pelanggaran hak atas merek yang telah terdaftar maupun yang masih dalam proses permohonan pendaftaran merek di DJKI sesuai Pasal 1 angka 24 dan 25 KUHAP.

Berdasarkan Pasal 100 Undang-undang No. 20 Tahun 2016, yant termasuk mengatur pelanggaran tindak pidana KI adalah sebagai berikut:

    1. Pelanggaran terhadap pihak lain yang menggunakan merek yang sama pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis, dapat dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
    2. Pelanggaran terhadap pihak lain yang menggunakan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis, dapat dipidana paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
    3. Pelanggaran terhadap pihak lain yang menggunakan merek yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar, yang terhadap barang tersebut dapat menyebabkan gangguan Kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia, dapat dipidana paling lama 10 (sepuluh tahun) dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

 

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kekayaan Intelektual (PPNS KI)

Dalam tindak pidana Kekayaan Intelektual, PPNS KI memiliki fungsi sebagai pembantu kepolisian.  Kepolisian memiliki fungsi sebagai pengawasan dan koordinasi dalam melakukan penyidikan melalui Koordinasi dan Pengawasan PPNS.

Penyidik Polri juga bertugas untuk memberikan bimbingan teknis kepada PPNS terkait pelaksanaan fungsi kepolisian. Pada praktiknya, apabila aduan tersebut dialamatkan ke kepolisian, maka penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh kepolisian dengan melibatkan PPNS KI untuk memberikan keterangan ahli.

Sebaliknya, jika aduan tindak pidana kekayaan intelektual dialamatkan kepada  DJKI, maka PPNS KI akan melakukan penyidikan dan penyidikan dengan berkoordinasi dengan kepolisian dalam kerangka administrasi dan etika penyelidikan dan penyidikan sesuai Keputusan Menteri No.M.HH-01.H1.07.02 tahun 2015 tentang petunjuk pelaksanaan manajemen penyidikan tindak pidana di dibidang kekayaan intelektual.

Apabila pelaporan atas tindak pidana KI dialamatkan kepada PPNS KI maka PPNS KI memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, penggeledahan, penyitaan, menyerahkan Tersangka kepada Jaksa Penuntut Umum. Pihak-pihak yang dapat mengajukan pelaporan terhadap dugaan tindak pidana KI adalah Pemilik KI (dalam hal ini pemilik merek terdaftar) dan juga pemegang dan/atau penerima Lisensi untuk penggunaan merek yang telah terdaftar.

 

Author / Contributor:

Bhakti Putra Nugraha, S.H.

Associate

Contact:

Mail       : bhakti@siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975