Sektor pertambangan berperan secara krusial sebagai pemasukan kas negara Indonesia. Menurut data laporan APBN Kita-Kinerja dan Fakta edisi Desember 2024 dari Kementerian Keuangan, sektor pertambangan termasuk ke dalam 4 besar penyumbang pajak terbesar di Indonesia. Meskipun telah berkontribusi secara signifikan terhadap pendapatan negara, akan tetapi sektor ini menghadapi berbagai rintangan yang semakin kompleks dan tentunya tidak dapat dihindari, termasuk maraknya kasus pertambangan ilegal yang mana telah teridentifikasi sejumlah 2.000 titik aktivitas yang tersebar di Indonesia. Untuk menanggulangi hal tersebut, penyelesaian sengketa non-litigasi dapat menjadi alternatif sebagai pendekatan yang lebih cepat, efektif, dan berorientasi dalam memberikan solusi terbaik bagi para pihak yang terlibat. 

Dasar Hukum Penyelesaian Sengketa di Sektor Pertambangan 

Pemberlakuan hukum di suatu negara ditetapkan sebagai norma untuk mengatur ketertiban, serta menciptakan keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat setempat. Pada sektor pertambangan, penerapan hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menjaga ketertiban, akan tetapi juga memastikan terciptanya keadilan dan keseimbangan antara berbagai kepentingan berbagai pihak, seperti perusahaan tambang, masyarakat lokal, pemerintah, dan lingkungan sekitar. 

Sengketa pertambangan termasuk kasus perdata. Dalam ranah perdata, penyelesaian sengketa yang dapat dipilih adalah melalui alternatif penyelesaian sengketa (APS) dan litigasi. Sebelum melaksanakan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, penyelesaian sengketa non-litigasi dapat menjadi pilihan lain untuk menyelesaikan sengketa karena terdapat pandangan bahwa pada umumnya litigasi seringkali menjadi opsi terakhir (ultimum remedium) apabila upaya non-litigasi tidak mencapai hasil yang diinginkan. 

Adapun beberapa dasar hukum yang perlu dipahami terkait penyelesaian sengketa pada sektor pertambangan, yakni sebagai berikut:

  • Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”)

Penyelesaian sengketa melalui non-litigasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase dan APS). Pada Pasal Pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS menyebutkan:

“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

Kemudian dalam Pasal 1 angka 10 UU Arbitrase dan APS mendefinisikan alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana pasal tersebut berbunyi:

“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsiliasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.”

UU Arbitrase dan APS telah menegaskan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat dilaksanakan apabila para pihak telah sepakat mengadakan perjanjian yang menyatakan akan menyelesaikan segala persengketaan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.

  • Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”)

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU 2/2025”) mengatur terkait definisi pertambangan yang berbunyi sebagai berikut:

“Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.”

Penyelesaian sengketa pertambangan dapat diselesaikan melalui pengadilan maupun arbitrase sebagaimana Pasal 154 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) berbunyi:

“Setiap sengketa yang muncul dalam pelaksanaan IUP, IPR, atau IUPK diselesaikan melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Ketentuan di atas memberikan alternatif lain bagi para pihak untuk menyelesaikan persengketaan pertambangan melalui litigasi di pengadilan maupun non-litigasi. Pilihan tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan para pihak dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti efisiensi waktu, biaya, serta kepentingan bisnis yang terlibat.

  • Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

Untuk menjamin kepatuhan pemegang izin usaha pertambangan (IUP), izin pertambangan rakyat (IPR), dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK), serta memperkuat pengawasan dan penegakkan hukum di sektor pertambangan, pemerintah mengubah ketentuan peraturan khususnya pada sektor pertambangan yang mana tertera pada Pasal 128A dan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah ketentuan pada UU Minerba. 

Pasal 162 UU Cipta Kerja mengatur mengenai sanksi pidana bagi siapa pun yang merintangi atau mengganggu kegiatan pertambangan, yakni dengan pemberian sanksi pidana maksimal 1 tahun kurungan pidana atau denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Hal ini bertujuan untuk melindungi operasional pertambangan yang sah dan terbebas dari gangguan oleh pihak luar.

Berdasarkan informasi di atas, maka dapat diketahui bahwa penyelesaian sengketa pada sektor pertambangan dapat diselesaikan melalui jalur litigasi (pengadilan) ataupun jalur non litigasi (di luar pengadilan) dengan mempertimbangkan aspek hukum, kepentingan para pihak, serta dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat aktivitas pertambangan.

Macam-macam Mekanisme Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi sektor Pertambangan 

Sengketa pertambangan termasuk ke dalam kategori kasus perdata. Dalam ranah perdata, penyelesaian sengketa yang dapat dipilih adalah melalui arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa (APS), dan litigasi. Sebelum melaksanakan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, penyelesaian sengketa non-litigasi dapat menjadi pilihan lain untuk menyelesaikan sengketa karena terdapat pandangan bahwa pada umumnya litigasi seringkali menjadi opsi terakhir apabila upaya non-litigasi tidak mencapai hasil yang diinginkan. Adapun penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dilaksanakan melalui:

1. Arbitrase
Pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasari atas perjanjian yang memuat klausula atbitrase yang dibuat para pihak secara tertulis.

2. Konsultasi
Tindakan konsultasi dilakukan secara personal antara pihak satu (sebagai klien) dan pihak lain (sebagai konsultan). Pada penyelesaian sengketa ini, konsultan berperan dalam memberikan pendapat hukum kepada klien.

3. Negosiasi
Pada langkah ini, para pihak yang bersengketa melaksanakan diskusi tanpa melibatkan pihak ketiga.

4. Mediasi
Penyelesaian sengketa ini membutuhkan mediator sebagai pihak netral untuk membantu para pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan.

5. Konsiliasi
Eksekusi penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dilakukan melalui konsiliator yang berperan secara aktif, yakni mempertemukan ataupun memberi fasilitas kepada para pihak yang bersengketa, serta berperan aktif memberikan pemecahan terhadap permasalahan.

6. Penilaian ahli 
Para ahli dapat memberikan pendapat terhadap suatu isu teknis tertentu untuk membantu penyelesaian sengketa sesuai dengan bidang keahliannya.

Keunggulan dari Pemilihan Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi

Pemilihan penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi pada sektor pertambangan merupakan pendekatan strategis yang mampu mengakomodasi kepentingan para pihak secara lebih efektif, efisien, fleksibel, serta memberikan keadilan bagi para pihak, khususnya pada konflik pertambangan yang umumnya melibatkan banyak pihak, seperti perusahaan tambang, masyarakat, dan pemerintah karena sektor pertambangan berkaitan erat pada isu-isu lingkungan dan sosial.

Penyelesaian sengketa non-litigasi memberikan banyak keunggulan apabila dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, diantaranya: memakan biaya yang relatif lebih rendah, proses penyelesaian sengketa lebih cepat, menjamin kerahasiaan para pihak, serta prosedurnya lebih fleksibel. Tak hanya itu, penyelesaian sengketa non-litigasi pun memberikan ruang dialog bagi partisipatif, khususnya bagi persengketaan yang melibatkan masyarakat adat atau komunitas lokal yang terdampak akibat kegiatan pertambangan. Maka dari itu, penyelesaian sengketa non-litigasi di sektor pertambangan tidak hanya memberikan efisiensi dari segi hukum, melainkan juga sesuai dengan prinsip keadilan dan pembangunan berkelanjutan.

Pada sektor pertambangan, penyelesaian sengketa non-litigasi mampu menjadi solusi yang lebih efektif dan efisien apabila dibandingkan dengan proses litigasi di pengadilan. Landasan hukum yang kuat, seperti UU Arbitrase dan APS, UU Minerba, serta UU Cipta Kerja menjadi dasar hukum yang memungkinkan para pihak untuk menyelesaikan persengketaan melalui jalur non-litigasi. Adanya berbagai pemilihan mekanisme penyelesaian sengketa non-litigasi yang tersedia memberikan fleksibilitas dan keunggulan yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan para pihak bersengketa, sehingga penyelesaian sengketa non-litigasi di sektor pertambangan dapat menjadi pertimbangaan oleh para pihak bersengketa, terutama agar hubungan bisnis dapat tetap berjalan secara harmonis.***

Daftar Hukum:

Referensi