Oleh R. Yudha Triarianto Wasono, S.H., M.H.
Awal tahun 2020 hampir seluruh negara di dunia terguncang dengan adanya pandemik Covid-19 yang telah banyak memakan korban jiwa. Tak terkecuali di Indonesia, hingga pertengahan April saja sudah ada lebih dari 6.000 kasus positif Covid-19, dengan jumlah kematian lebih dari 600 jiwa.
Tak hanya korban jiwa, perkonomian nasional juga terkena dampak yang cukup keras akibat pandemik ini. Kurs US dollar bahkan melompat cukup tinggi hampir mendekati Rp 17.000 dalam waktu beberapa hari saja. Masyarakat yang menjadi terkitat dengan lembaga-lembaga pembiayaan non-bank juga tedampak situasi pandemik Covid-19, hingga Pemerintah melalui Otortias Jasa Keuangan turun tangan mengeluarkan kebijakan relaksasi untuk memberikan restrukturisasi pembiayaan bagi debitor.
Sejak bulan Maret 2020, Pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan untuk menanggulangi penyebaran virus corona ini, salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 (PP 21/2020). Dalam PP 21/2020, yang dimaksud dengan PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19 sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Covid-19. Pemerintah Daerah dapat melakukan PSBB untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Implementasi dari PSBB di berbagai daerah, membuat sebagian besar industri menerapkan sistem work from home (WFH) untuk mengurangi mobilitas dan aktivitas perusahaan. Pengurangan aktivitas industri tentu berpengaruh pada kinerja perusahaan, dan bisa berujung pada penurunan omzet dan keuntungan, bahkan menimbulkan kerugian. Kerugian yang dialami para pelaku usaha tentunya juga akan berdampak kepada para kreditornya yang macet pemenuhan piutangnya. Jika hal ini terus berlanjut, tidaklah mustahil banyak perusahaan yang pailit dalam waktu dekat.
Namun peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia telah menyediakan mekanisme untuk menghindari kepailitan. Mekanisme tersebut biasa dikenal dengan istilah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Mekanisme PKPU telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU 37/2004).
Berlakunya UU 37/2004 bisa menjadi solusi bagi para pelaku usaha dalam penyelesaian masalah utang-piutang, dan jalan keluar untuk menghindari kepailitan. Hal ini karena selama PKPU berlangsung, terhadap debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit.
Menurut Pasal 222 ayat (2) UU 37/2004, debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon PKPU, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Kreditor yang dimaksud dalam ketentuan pasal ini adalah setiap kreditor baik konkuren maupun kreditor yang didahulukan.
Debitor dapat mengajukan permohonan PKPU melalui Pengadilan Niaga di wilayah jursdiksi wilayah debitor. Tidak hanya debitor, kreditor juga dapat mengajukan permohonan PKPU atas debitornya berdasarkan ketentuan UU 37/2004.
Prosedur permohonan PKPU dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 224 UU 37/2004 sebagai berikut:
- Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya.
- Dalam hal pemohon adalah Debitor, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya.
- Dalam hal pemohon adalah Kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang.
- Pada sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya dan, bila ada, rencana perdamaian.
- Pada surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilampirkan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222.
- Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan kewajibanpembayaran utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Adapun bunyi Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 37/2004 adalah sebagai berikut:
- Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan.
- Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.
- Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayatayat tersebut.
- Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
- Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.
Prosedur PKPU mencakup tahap PKPU sementara dan PKPU tetap yang merupakan satu rangkaian prosedur. PKPU sementara berlaku sejak tanggal Putusan Pengadilan sampai dengan tanggal sidan diselenggarakan paling lama pada hari ke-45. Jangka waktu PKPU tetap berikut perpanjangannya maksimal 270 hari dihitung dari setelah putusan PKPU sementara diucapkan, sehingga mencakup masa 45 hari yang menjadi jangka waktu PKPU sementara. Namun perpanjangan masa PKPU tetap terlebih dahulu harus mendapat persetujuan lebih dari ½ jumlah kreditor konkuren yang mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan.
Dapat dikatakan bahwa PKPU merupakan masa renegosiasi debitor dengan kreditor melalui penyampaian proposal atau rencana perdamaian yang dimediasi oleh Pengadilan. Apabila rencana perdamaian disetujui oleh para kreditor, maka Pengadilan akan mengesahkannya dan mengikat seluruh pihak. Pengesahan atas rencana perdamaian dalam proses PKPU dari Pengadilan tersebut biasa dikenal dengan istilah Homologasi.
Efektivitas dari mekanisme PKPU akan tergantung dari hasil rencana perdamaian yang diajukan debitor kepada para kreditornya. Setidaknya dalam jangka waktu proses PKPU ada masa yang dapat digunakan oleh debitor untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya. Harapannya rencana perdamaian dapat disetujui oleh para kreditor, sehingga debitor dapat melanjutkan usahanya dan terhindar dari kepailitan.
DISCLAIMER:
Any information contained in this Article is provided for informational purposes only and should not be construed as legal advice on any subject matter. You should not act or refrain from acting on the basis of any content included in this Legal Update without seeking legal or other professional advice. This document is copyright protected. No part of this document may be disclosed, distributed, reproduced or transmitted in any form or by any means, including photocopying and recording or stored in retrieval system of any nature without the prior written consent of SIP Law Firm.
Setiap informasi yang terkandung dalam Artikel ini disediakan hanya untuk tujuan informasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai nasihat hukum tentang masalah apa pun. Anda tidak boleh bertindak atau menahan diri dari bertindak berdasarkan konten apa pun yang termasuk dalam Update Hukum ini tanpa mencari nasihat hukum atau profesional lainnya. Dokumen ini dilindungi hak cipta. Tidak ada bagian dari dokumen ini yang dapat diungkapkan, didistribusikan, direproduksi atau dikirim dalam bentuk apa pun atau dengan cara apa pun, termasuk fotokopi dan rekaman atau disimpan dalam sistem pengambilan apa pun tanpa persetujuan tertulis sebelumnya dari Firma Hukum SIP.