Oleh R. Yudha Triarianto Wasono, S.H., M.H.

 

Terbitnya Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 menegaskan bahwa saat ini Indonesia berada dalam keadaan kedaruratan kesehatan masyarakat akibat penyebaran Covid-19. Keppres ini diterbitkan dengan pertimbangan penyebaran Covid-19 yang luar biasa dengan ditandai jumlah kasus dan/atau jumlah kematian meningkat dan meluas lintas wilayah dan lintas negara, serta berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia.

Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Peraturan ini berisi persyaratan bagi Kepala Daerah yang ingin menerapkan PSBB di wilayahnya harus mendapat persetujuan dari Menteri Kesehatan.

DKI Jakarta sendiri telah menerapkan PSBB sejak tanggal 10 April  2020 dengan dasar Peraturan Gubernur No. 33 Tahun 2020 tentang Implementasi PSSB di Jakarta. Pergub ini memberikan batasan aktivitas luar rumah, mulai dari pembelajaran di sekolah, kegiatan keagamaaan, kegiatan sosial budaya, sampai aktivitas bekerja di tempat kerja.

Pasal 10 Pergub DKI Jakarta No. 33/2020 menentukan 11 jenis sektor usaha yang dikecualikan dari penghentian sementara aktivitas bekerja di tempat kerja/kantor, yang salah satunya adalah aktivitas konstuksi.

Namun kenyataan di lapangan, tidak sedikit aktivitas konstruksi yang ikut berhenti akibat pandemi Covid-19 ini. Biasanya hal ini disebabkan karena kegiatan konstruksi tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan juga bergantung kepada sektor usaha yang lain. Penghentian aktivitas konstruksi ini juga bukan hanya berasal dari pengguna jasa konstruksi, melainkan juga bisa berasal dari pelaku penyedia jasa konstruksi tersebut.

Yang menjadi pertanyaan apakah mungkin jika penyedia jasa konstruksi atau yang biasa disebut kontraktor melakukan penghentian atau penundaan pekerjaan dengan alasan keadaan memaksa atau biasa disebut force majeur akibat adanya pandemi Covid-19 ?

Kegiatan Pekerjaan Konstruksi

Pelaksanaan kegiatan konstruksi telah diatur dalam UU No. 02 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UU 2/2017). UU 2/2017 mendefinisikan jasa konstruksi sebagai layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi. Terdapat dua lingkup kegiatan dalam jasa konstruksi, perbedaan definisinya sebagai berikut:

  1. Konsultansi Konstruksi adalah layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan.
  2. Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan,pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan- kembali suatu bangunan.

Jika melirik kembali kepada Pergub DKI Jakarta No. 33/2020, tidak ada penjelasan definisi dari aktivitas konstruksi, maka kita bisa mengasumsikan secara umum meliputi kedua lingkup sebagaimana dijelaskan dalam UU 2/2017.

Force Majeure

Dalam Hukum Indonesia, seorang debitor dibebaskan dari penggantian biaya, kerugian, dan bunga dalam hal tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam perjanjian akibat adanya suatu keadaan memaksa yang tidak terduga. Ketentuan ini ada dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata.

Pasal 1244 KUH Perdata

“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya”

Pasal 1245 KUH Perdata

Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya”.

KUHPerdata memang tidak memberikan deskripsi secara khusus jenis-jenis dari force majeure. Para pihak dalam perjanjian memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri jenis-jenis keadaan yang dianggap sebagai force majeure.

Terkait dengan kegiatan konstruksi, ketentuan dalam Pasal 47 ayat (1) UU 2/2017 telah memberikan standar dalam kontrak kerja konstruksi yang salah satunya harus memuat klausul keadaan memaksa. Keadaan memaksa yang dimaksud dalam UU ini adalah memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Penjelasan dari keadaan memaksa mencakup dua hal, yaitu:

  1. keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yakni bahwa para pihak tidak, mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya; dan
  2. keadaan memaksa yang bersifat tidak mutlak (relatif), yakni bahwa para pihak masih dimungkinkan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya.

Penjelasan dalam UU 2/2017 juga membebaskan jika risiko yang diakibatkan oleh keadaan memaksa dapat diperjanjikan oleh para pihak, antara lain melalui lembaga pertanggungan (asuransi).

Covid-19

Untuk menjawab pertanyaan apakah kontraktor yang menunda aktivitas konstruksinya dengan alasan force majeure adanya pandemi Covid-19, terlebih dahulu harus melihat klausula force majeure dalam kontrak yang telah dibuat. Apabila para pihak telah memasukkan pandemi atau wabah penyakit sebagai salah satu jenis force majeure, maka adanya Covid-19 yang telah diperkuat dengan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020, sudah jelas dapat dijadikan dasar bagi kontraktor untuk menunda pelaksanaan kewajibannya.

Apabila pandemi penyakit tidak dikategorikan dalam force majeure, maka kontraktor tidak serta merta dapat melalaikan kewajibannya melakukan aktivitas konstruksi. Terlebih apabila kegiatan konstruksi berkedudukan di Jakarta, berdasarkan Pergub DKI Jakarta 33/2020 tidak termasuk aktivitas yang dibatasi dalam rangka PSBB.

Namun masih dimungkinkan apabila kontraktor memiliki bukti yang relevan bahwa kegiatan kontruksinya terhenti akibat dampak dari adanya Covid-19, misalnya terdapat bahan baku impor yang pengirimannya tersendat atau bahkan belum dapat dikirim dari negara asal yang sedang melakukan lock down misalnya. Atau mungkin ada tenaga kerja yang positif terjangkit Covid-19, sehinnga menyebabkan tenaga kerja lain yang berada dalam satu lingkungan perlu dilakukan karantina terlebih dahulu.

Untuk mencegah terjadinya sengketa, para pihak dalam perjanjian yang merasa terdampak kondisi pandemi ini agar segera menginformasikannya kepada pihak rekan dalam perjanjian, dengan disertai argumen dengan bukti-bukti yang relevan. Sebagai catatan, suatu force majeure bukannya menghilangkan kewajiban bagi kontraktor, melainkan sebagai alasan penundaan kewajiban. Harapannya dalam waktu sedini mungkin para pihak dapat melakukan re-negosiasi dalam pelaksanaan kontraknya, tidak sampai masuk ranah sengketa yang dapat menimbulkan kerugian lebih besar bagi kedua belah pihak.

 

 

 

 

DISCLAIMER:

Any information contained in this Article  is provided for informational purposes only and should not be construed as legal advice on any subject matter.  You should not act or refrain from acting on the basis of any content included in this Legal Update without seeking legal or other professional advice.  This document is copyright protected. No part of this document may be disclosed, distributed, reproduced or transmitted in any form or by any means, including photocopying and recording or stored in retrieval system of any nature without the prior written consent of SIP Law Firm.

Setiap informasi yang terkandung dalam Artikel ini disediakan hanya untuk tujuan informasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai nasihat hukum tentang masalah apa pun. Anda tidak boleh bertindak atau menahan diri dari bertindak berdasarkan konten apa pun yang termasuk dalam Update Hukum ini tanpa mencari nasihat hukum atau profesional lainnya. Dokumen ini dilindungi hak cipta. Tidak ada bagian dari dokumen ini yang dapat diungkapkan, didistribusikan, direproduksi atau dikirim dalam bentuk apa pun atau dengan cara apa pun, termasuk fotokopi dan rekaman atau disimpan dalam sistem pengambilan apa pun tanpa persetujuan tertulis sebelumnya dari Firma Hukum SIP.