Tindak pidana di sektor perbankan yang dilakukan oleh pegawai suatu bank yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) umumnya serta merta dianggap sebagai tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum. Dasar pemikirannya adalah karena tindak pidana yang dilakukan pegawai bank BUMN merugikan keuangan negara dan oleh sebab itu pelakunya dikenakan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di samping Undang-Undang tentang Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi, pidana di sektor perbankan yang melibatkan pegawai bank BUMN itu juga diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Ada sejumlah pasal dalam Undang-undang Perbankan dan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan yang kerap berbenturan. Hal inilah yang menimbulkan problematika hukum terkait penerapan undang-undang mana yang harus didahulukan dalam kasus tindak pidana di sektor perbankan yang dilakukan oleh pegawai bank BUMN.
Pasal tersebut adalah Pasal 49 Undang-undang Perbankan yang mengatur tindakan anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dianggap sebagai tindak pidana perbankan dan ancaman hukuman terhadap tindak pidana tersebut.
Pasal dalam Undang-undang Perbankan ini berbenturan dengan pasal 2 ayat (1) dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaiamna diubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua pasal ini mengatur tentang tindakan setiap orang yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang dianggap tindak pidana korupsi serta ancaman hukuman terhadap tindak pidana korupsi.
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebenarnya, negara-negara yang mengikuti tradisi hukum Eropa Kontinental ,termasuk Indonesia, mengenal asas Lex Consumen Derogat Legi Consumte atau hukum satu mengabsorbsi hukum yang lainnya. Jika suatu perbuatan memenuhi unsur delik yang terdapat dua atau lebih ketentuan hukum, maka yang harus diketahui adalah apakah fakta yang lebih dominan dalam kasus tersebut melanggar ketentuan yang satu atau ketentuan hukum yang satunya lagi.
Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali mengatur bahwa hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Dalam hal terdapat dua atau lebih peraturan hukum yang bersifat khusus, dikenal pula turunan asas Lex Specialis Derogat Legi Generali yakni asas Lex Specialis Systematisch.
Menurut Prof. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H., untuk menentukan Undang-undang khusus mana yang diberlakukan, maka berlaku asas Lex Specialis Systematisch atau kekhususan yang sistematis
Misalnya, subyek personal, obyek dugaan perbuatan yang dilanggar, alat bukti yang diperoleh, lingkungan dan area delicti berada dalam konteks perbankan, maka Undang-undang Perbankan adalah yang diberlakukan, meskipun Undang-undang Khusus lainnya (seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi memiliki unsur delik yang dapat mencakupnya) dapat diterapkan.
Asas Lex Specialis Systematisch mensyaratkan apabila suatu perbuatan dapat dijerat dengan dua undang-undang khusus, maka harus diperhatikan undang-undang mana yang bersifat lebih sistematis di mana ruang lingkup perbuatan itu dilakukan dan adresatnya bersifat khusus dengan melihat siapa pelaku perbuatan tersebut.
Adresat yang dimaksud adalah subjek hukum yang melakukan perbuatan. Asas-asas tersebut hadir untuk memberikan jawaban bila terjadi konflik antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain di mana kedua undang-undang tersebut bersifat khusus.
Dalam beberapa kasus pemberian fasilitas kredit bank BUMN, pegawai bank BUMN yang menerima atau meminta imbalan untuk keuntungan pribadinya, dalam rangka memberikan fasilitas bagi orang lain atau nasabah dalam memperoleh pembiayaan, bank garansi, atau fasilitas kredit lainnya, yang kemudian berakibat pada kredit macet justru dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi oleh penyidik dengan alasan kredit macet tersebut menimbulkan kerugian negara.
Menurut penulis, pasal yang lebih tepat untuk dikenakan dalam kasus tersebut adalah Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Perbankan.
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi telah memberikan batasan-batasan yang memerintahkan penegak hukum untuk menerapkan undang-undang tersebut jika terdapat ketentuan yang secara tegas menyatakan adanya pelanggaran yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 14 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi apabila diartikan secara argumentum a contrario memiliki arti untuk pelanggaran terhadap ketentuan yang tidak menyatakan dan/atau tidak secara tegas menyatakan pelanggaran tersebut merupakan tindak pidana korupsi, maka pelanggaran tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi.
Tidak ada satupun ketentuan yang menyatakan bahwa tindak pidana perbankan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan merupakan tindak pidana korupsi. Karena itu, berdasarkan asas Lex Specialis Systematisch pelanggaran prudential principles yang merupakan prinsip yang dipegang erat dalam perbankan, yang juga dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara, tidak serta merta dapat diartikan sebagai perbuatan atau tindak pidana korupsi.
Penulis berpendapat bahwa pelanggaran tersebut menjadi ruang lingkup tindak pidana perbankan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan berdasarkan beberapa argumentasi. Pertama, ketentuan materiil terkait tindak pidana perbankan dalam Undang-undang Perbankan bersifat khusus dan ketentuan formil terkait tindak pidana perbankan dalam Undang-undang Perbankan telah mengatur hal yang lebih dominan dan sistematis. Kedua, adresat atau subjek hukum yang dapat dijerat dalam kasus ini juga bersifat khusus dan masih berada dalam ruang lingkup perbankan yakni pegawai bank BUMN.
Di samping itu, Undang-Undang Perbankan memiliki norma dan sanksi hukum tersendiri, baik itu sanksi hukum pidana maupun sanksi hukum administratif. Berdasarkan hal tersebut, asas Lex Consumen Derogat Legi Consumte dan asas Lex specialis systematisch memenuhi syarat untuk dapat diterapkan dalam kasus tindak pidana yang dilakukan pegawai bank BUMN.
Dengan demikian, menurut penulis, Pasal 49 ayat (2) Undang-undang Perbankan merupakan pasal yang lebih tepat untuk dikenakan terhadap pegawai bank BUMN yang menerima atau meminta imbalan untuk keuntungan pribadinya, dalam rangka mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank.
Author / Contributor:
Hatma Priza Akbar, S.H. Associate Contact: Mail : hatma@siplawfirm.id Phone : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975 |