Pemerintah Indonesia berencana membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) pada tahun 2030 mendatang. Rencana ini terkait target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 mendatang. Pulau Gelasa, Kepulauan Bangka Belitung akan menjadi lokasi PLTN yang akan dibangun dengan kekuatan 35 GW.

Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) telah berkoordinasi dengan banyak pihak untuk menciptakan praktik perizinan yang efisien dan practicable bagi para pelaku usaha yang ada berinvestasi PLTN di Indonesia. “Kami mengakomodasi semua perizinan tetapi memprioritaskan aspek keamanan dan keselamatan nuklir,” kata Plt. Kepala Bapetem kepada media belum lama ini.

Indonesia telah memiliki  Undang-Undang 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, menggantikan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom yang dinilai tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Undang-undang ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perizinan Instalasi Nuklir Dan Pemanfaatan Bahan Nuklir.

Undang-undang No 10  tahun 1997 menjelaskan bahwa nuklir dimanfaatkan untuk ilmu dan pembangunan sebagaimana pasal 1 (1), ketenaganukliran adalah hal yang berkaitan dengan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir serta pengawasan kegiatan yang berkaitan dengan tenaga nuklir.

Dalam Pasal 8 dijelaskan secara lebih detail dalam ayat  (1) yakni, penelitian dan pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir harus diselenggarakan dalam rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir untuk keselamatan, keamanan, ketenteraman, dan kesejahteraan rakyat. Ayat (2) menyebutkan,  penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan terutama oleh dan menjadi tanggung jawab Badan Pelaksana. Sementara itu, ayat (3) menyebutkan, penelitian dan pengembangan mengenai keselamatan nuklir perlu diperhatikan untuk mengurangi dampak negatif pemanfaatan tenaga nuklir dan ayat (4) menjelaskan, dalam menyelenggarakan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Pelaksana dapat bekerja sama dengan instansi dan badan lain.

Terkait perijinan dijelaskan secara rinci dalam pasal Pasal 17  ayat (1), setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin, kecuali dalam hal-hal tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dalam ayat (2) disebutkan, pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor nuklir wajib memiliki izin dan ayat (3) menjelaskan, syarat-syarat dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Undang-undang Nomor 10 tahun 1997 juga mengatur dengan terperinci terkait efek keselamatan dan keamanan dalam pasal 16 bahwa, setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memperhatikan keselamatan, keamanan, dan ketenteraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Sementara terkait limbah radioaktif merujuk pada Pasal 22 yang berbunyi, pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup. Pasal 28 – pasal 33 mengatur pertanggungjawaban pengelola jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan, akibat bencana alam atau konflik senjata / perang.

Pasal 34 mengatur pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir terhadap kerugian yang terjadi sebagaimana ayat 1 yang menyatakan, pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir terhadap kerugian nuklir paling banyak Rp. 900.000.000.000,00 (sembilan ratus miliar rupiah) untuk setiap kecelakaan nuklir, baik untuk setiap instalasi nuklir maupun untuk setiap pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas.

Pertanggungjawaban atas pembangunan dan pengelolaan nuklir juga diatur dalam pasal 41. Disebutkan,

(1) Barangsiapa membangun, mengoperasikan, atau melakukan dekomisioning reaktor nuklir tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

(2) Barangsiapa melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menimbulkan kerugian nuklir dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(3) Dalam hal tidak mampu membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terpidana dipidana dengan kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

Sebagian isi Undang-undang Nomor 10 tahun 1997 telah direvisi melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja terkait perijinan, pertanggungjawaban dan hukuman bagi pelanggaran. Salah satu revisi yakni Pasal 4 Ayat (1) yang menyebutkan,  Pemerintah Pusat membentuk Badan Pengawas yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, yang bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir.

Baca Juga: Praktik Nepotisme dalam Hukum Administrasi Negara