Pasal 1 Undang-undang Nomor 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan, Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tanpa adanya pelanggaran kampanye dalam pemilu yang diselenggarakan.
Dalam menyelenggarakan Pemilu, Penyelenggara Pemilu harus melaksanakan Pemilu berdasarkan pada asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan penyelenggaraannya harus memenuhi prinsip: mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif dan efisien sebagaimana diatur dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 17 tahun 2017.
Sementara itu dalam Pasal 4 dinyatakan, pengaturan penyelenggaraan pemilu bertujuan memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan sistem Pemilu, memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan Pemilu, dan mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien.
Untuk itu, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 mengatur sejumlah larangan bagi pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu seperti melakukan penghinaan berdasarkan SARA, menghasut, mengadu domba baik secara perseorangan atau massal dengan ancaman sanksi pidana.
Larangan Dalam Kampanye
Pasal 280 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 menetapkan 10 hal yang dilarang dalam kampanye yakni:
Pertama, menjelek-jelekkan lawan politik dengan isu-isu yang tidak berdasar
Kedua, mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
Ketiga, melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Keempat, menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain;
Kelima, menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat
Keenam, mengganggu ketertiban umum
Ketujuh, mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain
Kedelapan, merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu
Kesembilan, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan
Sepuluh, membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan dan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu
Contoh Pelanggaran
Subjek pelanggaran kampanye terkait tindak pidana pemilu dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu. Ancaman terhadap pelanggaran pemilu adalah pidana penjara dan denda. Sementara itu, terhadap subjek pelanggaran kampanye yang menggunakan media elektronik dapat diberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Salah satu pelanggaran seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 490 Undang-undang Nomor 17 tahun 2017. Pasal ini menyebutkan, kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.
Dari pasal ini dapat dijelaskan, masih terdapat kekeliruan dalam menafsirkan subjek pelanggaran kampanye yang merupakan peserta, yang dianggap sebagai peserta pemilu, dikenakan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, sedangkan anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran kampanye dikenakan Undang-undang ITE. Padahal, peserta yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 adalah peserta kampanye pemilu yang merupakan anggota masyarakat, sehingga Undang-undang No. 7 Tahun 2017 dapat juga diterapkan terhadap masyarakat.
Contoh lainnya, Pasal 280 ayat (3) menyebutkan, setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim Kampanye Pemilu. Ketika ada yang mengajak dan menghimbau masyarakat agar tidak ikut menjadi pelaksana dan tim Kampanye Pemilu dan dengan sengaja melanggar larangan pelaksanaan Kampanye Pemilu, yaitu menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf d UU Pemilu bisa dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta.
Pengadilan telah memutus beberapa kasus pelanggaran kampanye yang dilakukan oleh caleg vonis hukuman antara 3 hingga 6 bulan dengan membayar denda Rp 5 juta hingga Rp 10 juta dengan pelanggaran beragam. Di antaranya membagikan minyak goreng, sarung dan kupon umroh kepada warga.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengungkap data dugaan pelanggaran kampanye jelang Pemilu 2019 sebanyak 192.129 . Terdapat 176.493 pemasangan alat peraga di tempat yang dilarang. 14.275 alat peraga kampanye (APK) yang mengandung materi yang dilarang. 1.381 APK di kendaraan angkutan umum. Bawaslu juga menemukan ada 414 iklan kampanye yang seharusnya tidak boleh dilakukan, 249 iklan di media cetak, 153 di elektronik, dan 12 di radio.
Baca Juga: Ini Wewenang Menteri/Pimpinan Lembaga Kelola Aset Negara