Perkembangan teknologi yang makin pesat memunculkan inovasi pengobatan di dunia kesehatan salah satunya telemedicine. Menurut Permenkes Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pasal 1 (1) adalah pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat.

Melalui telemedicine atau pengobatan via daring, pasien bisa melakukan konsultasi dengan dokter tanpa bertemu secara langsung (tatap muka). Pasien akan mendapatkan diagnosis, resep obat dan surat keterangan sakit yang dibutuhkan oleh pasien. Awal mula  telemedicine dipopulerkan Thomas Bird tahun 1970-an yang melakukan pengiriman bantuan medis melalui perangkat telekomunikasi tanpa pertemuan fisik antara dokter dan pasien, sebagaimana tulisan Septa Adi Prasetya, Analis Kebijakan di Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kemenkes yang dirilis di detik.com, Selasa (31/01/2024).

Sumber lain menyebutkan, telemedicine pertamakali digunakan di Amerika Serikat  pada akhir 1950-an. Dikutip dari ncbi.nlm.nih.gov, orang pertama yang menggunakan komunikasi video untuk tujuan medis adalah dokter di Universitas Nebraska tahun 1959. Universitas ini mendirikan pengaturan televisi dua arah untuk mengirimkan informasi kepada mahasiswa kedokteran di seluruh kampus, dan lima tahun kemudian terhubung dengan rumah sakit negara untuk melakukan konsultasi melalui video.

Di Indonesia, berobat via daring banyak dimanfaatkan di masa pandemi covid-19 tahun 2020-2022. Kala itu pemerintah memutuskan masyarakat untuk berkegiatan di rumah untuk memutus penyebaran virus. Namun layanan kesehatan melalui telemedicine sudah dimulai sejak 1990-an. Pemanfaatan telemedicine berlanjut hingga saat ini dengan alasan praktis dengan biaya terjangkau.

Landasan Hukum

Pemerintah telah menyiapkan payung hukum terkait pengobatan jarak jauh yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), Permenkes Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan. UU Kesehatan pada Pasal 172 menjelaskan, fasilitas pelayanan kesehatan menyelenggarakan secara mandiri oleh pelayanannya tersebut ataupun bekerja sama dengan penyelenggara sistem elektronik yang mana layanan kesehatan tersebut meliputi layanan antar-fasilitas pelayanan kesehatan dan antara fasilitas pelayanan kesehatan dan masyarakat.

Sementara itu, pasal 3 Permenkes 20/2019 menuliskan, jenis-jenis pelayanan di bidang jasa kesehatan yang termasuk ke dalam pelayanan telemedicine adalah pelayanan teleradiologi, teleelektrokardiografi, teleultrasonografi, telekonsultasi klinis, dan pelayanan konsultasi lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Fasilitas pelayanannya tersebut meliputi fasilitas pelayanan kesehatan pemberi konsultasi dan fasilitas pelayanan kesehatan peminta konsultasi.

Ada sejumlah alasan seseorang menggunakan layanan telemedicine. Selain praktis, tarifnya terjangkau / sering ada promo potongan harga, bisa menjadi solusi untuk orang yang tinggal sendiri dalam kondisi sakit dan tidak ada yang mengantar ke dokter. Perluasan akses kesehatan kepada seluruh masyarakat terus dikembangkan oleh pemerintah dengan  telemedicine untuk bisa menjangkau daerah pedalaman yang memiliki akses terbatas terhadap pelayanan kesehatan.

Katadata.co.id menulis, telemedicine menjadikan layanan kesehatan lebih terjangkau bagi 60% penduduk Indonesia yang memiliki pendapatan sebesar Rp  635 ribu – 3,5 juta per bulannya. Artinya, ada 162 juta penduduk Indonesia yang akan terbantu dengan kehadiran telemedicine.

Baca Juga: Pentingnya Akreditasi Rumah Sakit terhadap Pelayanan Kesehatan