Kita tentu mengenal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut saat melakukan transaksi seperti berbelanja. Tapi seberapa paham kita dengan seluk beluknya? PPN adalah pungutan yang dikenakan dalam setiap proses produksi maupun distribusi. Dikutip dari pajak.com, dalam PPN, pihak yang menanggung beban pajak adalah konsumen akhir/pembeli.
Sebagai bukti bahwa PPN adalah kewajiban pembeli, kita bisa menemukan PPN pada lembaran struk belanja atau pembelian. Pada struk tersebut kita dapat menemukan tulisan PPN maupun terjemahannya dalam Bahasa Inggris yakni Value Added Tax (VAT).
PPN merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai berbagai macam pengeluaran publik. Pajak dibayarkan oleh rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang yang berlaku yang memiliki empat fungsi yakni:
Pertama, Fungsi Anggaran (Budgeter)
Pajak merupakan sumber pendapatan terbesar untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Pajak digunakan untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan fasilitas kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan pelayanan publik lainnya.
Kedua, Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak digunakan sebagai alat untuk melindungi produksi dalam negeri dengan menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri. Adanya kebijakan pajak bisa mencerminkan kebijakan perekonomian suatu negara.
Ketiga, Fungsi Stabilitas
Melalui pungutan pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga. Dengan pendapatan negara dari pajak, inflasi dapat dikendalikan sehingga perekonomian berjalan stabil.
Keempat, Fungsi Redistribusi Pendapatan
Dasar Hukum PPN
Pajak digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, pembangunan sarana masyarakat, menciptakan lapangan kerja agar pendapatan masyarakat merata. Pendapatan negara dari PPN dijalankan berdasarkan hukum yang berlaku, yakni Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Daerah Pabean, Barang Berwujud dan BKP.
Penyerahan BKP dalam peraturan tentang PPN ini adalah penyerahan BKP karena suatu perjanjian, pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli (leasing) dan pengalihan hasil produksi dalam keadaan bergerak. Tarif PPN ditetapkan sebesar 10% dan tarif atas ekspor BKP/JKP sebesar 0% dengan ketentuan dapat diubah serendah-rendahnya menjadi 5% dan setinggi-tingginya 15%.
Selanjutnya, PPN juga diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Beberapa poin penting dari kebijakan ini adalah penjelasan PPN sebagai pajak tidak langsung yang dihitung oleh penjual tetapi dibayar oleh orang lain (pembeli).
Dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai ini menjelaskan adanya sistem Muli Stage Tax sebagai pajak yang yang dikenakan secara bertingkat, pada rantai produksi dan distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek PPN sejak dari pabrik, pedagang besar sampai pengecer dikenakan PPN. Peraturan ini juga mengatur mengenai indirect subtraction/invoice method yaitu cara menghitung pajak dengan metode tidak langsung terhadap pajak atas konsumsi dalam negeri sebagai pajak yang yang dikenakan secara definitif terhadap barang konsumsi di Indonesia.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 ini juga membahas mengenai consumption type VAT sebagai pajak yang dipungut atas nilai tambah, penerapan Non cumulative tax yaitu sistem pengenaan pajak pada barang/jasa yang telah dikenakan terhadap barang/jasa yang telah dikenakan pajak daerah. Penerapan tarif tunggal 10% diberlakukan untuk pungutan PPN dan pajak objektif sebagai pajak yang dikenakan atas barang/jasa tanpa melihat orang/badan yang melakukan transaksi.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 kemudian diperbaharui melalui Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009. Undang-undang ini membahas sejumlah perubahan dari undang-undang sebelumnya seperti mengenai status PKP sebagai pihak yang wajib menyetor dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang, hingga kewajiban pengusaha kecil yang sudah memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Peraturan mengenai pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN diatur melalui PMK No. 197/PMK.03/2013 yang juga mengatur PKP sebagai pihak yang wajib melaporkan pajaknya karena jumlah penjualan barang dan jasa yang sudah melebihi Rp 4.800.000.000. Pelaporan dilakukan pada akhir bulan berikutnya setelah jumlah penjualan berhasil melebihi Rp 4.800.000.000.
Kementerian Keuangan mencatat, penerimaan negara dari pajak pada tahun 2023 mencapai Rp1.109,1 triliun hingga akhir Juli 2023. Dengan demikian, jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan yaitu sebesar 64,6% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.
Tercatat, PPN Non Migas sebesar Rp636,56 triliun atau 72,86% dari target. Pajak ini tumbuh 6,98% jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) hingga akhir Juli 2023 tercatat sebesar Rp 417,64 triliun atau 56,21% dari target. Angka capaian ini juga tumbuh 10,60%.
Sementara Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya yang berhasil dikumpulkan mencapai Rp9,60 triliun atau 23,99% dari target. Capaian ini juga mengalami pertumbuhan sebesar 44,76%. Sementara itu, PPh Migas tercatat Rp 45,31 triliun atau 73,74% dari target. Dengan raihan tersebut, PPh Migas mengalami kontraksi 7,99%. Dan penerimaan Kepabeanan dan Cukai telah mencapai Rp149,83 triliun atau 49,40% dari target. Hasil penerimaan ini mengalami kontraksi sebesar 19,07% dari tahun lalu.
Baca Juga: Ragam Pajak Properti di Indonesia