Peer-to-peer (P2P) Lending semakin populer menjadi salah satu solusi bagi masyarakat, UMKM, atau pengusaha untuk mendapatkan dana secara cepat. P2P sebagai financial technology (fintech) seakan menjadi alternatif pilihan pendanaan untuk berinvestasi atau mengajukan pinjaman dana.
Pesatnya pertumbuhan fintech P2P Lending semakin dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk oleh kalangan UKM dan pengusaha. Tak hanya itu, kehadiran fintech P2P juga dapat memberikan manfaat bagi mereka yang membutuhkan dana untuk pendidikan dan kesehatan, sesuai standarnya masing-masing, mulai dari kelayakan kredit pinjaman, nominal, dan tenor pinjaman, suku bunga, hingga tingkat keamanan.
Perkembangan Fintech P2P Lending di Indonesia
Perkembangan Fintech P2P Lending di Indonesia tak lepas dari perkembangan teknologi informasi di era milenium ketiga. Pada masa itu, segala lini kehidupan mulai tersentuh teknologi tak terkecuali di sektor keuangan. Teknologi financial ini semakin berkembang luas dan digunakan secara masif di awal tahun 2000. Dari sini pun berkembang inovasi di bidang keuangan termasuk P2P lending atau fintech pendanaan bersama.
Dikutip dari website Dataindonesia.id, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga 9 Oktober 2023, jumlah perusahaan fintech atau pinjaman online (Pinjol) yang terdaftar dan berizin di Indonesia sebanyak 101 unit. Jumlah itu terdiri dari 94 pinjol konvensional dan tujuh pinjol syariah.
Hal yang paling mendasari perkembangan P2P Lending adalah dipengaruhi rendahnya faktor inklusi keuangan masyarakat Indonesia. Hal itu diperkuat dengan data dari Kementerian Koperasi dan UMKM yang mengatakan bahwa lebih dari 50 juta UMKM di Indonesia belum tersentuh perbankan, meskipun layak untuk mendapat kredit.
Di sisi lain, menurut Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), maraknya industri P2P lending di Indonesia bermula dari rendahnya penetrasi kredit.
Dasar Hukum P2P Lending
Menurut Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016, fintech lending/P2P lending adalah layanan pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah secara langsung antara kreditur/lender (pemberi pinjaman) dan debitur/borrower (penerima pinjaman) berbasis teknologi informasi. Fintech lending juga disebut sebagai Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI).
Pada Juli 2022, OJK kembali menerbitkan POJK Nomor 10/POJK.05/2022 Tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK LPBBTI/Fintech P2P Lending). POJK baru ini merupakan penyempurnaan dari POJK sebelumnya (POJK 77/2016) dalam rangka mengakomodasi perkembangan industri yang cepat dan lebih kontributif serta memberikan pengaturan yang optimal pada perlindungan konsumen.
Dalam siaran pers yang diterbitkan website OJK.go.id, peraturan baru tersebut menyempurnakan substansi dari peraturan sebelumnya. Beberapa substansi penyempurnaan pengaturan dalam POJK LPBBTI yang baru adalah sebagai berikut:
- Penyelenggara LPPBTI harus didirikan dalam bentuk badan hukum perseroan terbatas dengan modal disetor pada saat pendirian paling sedikit Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah);
- Penyelenggara wajib memiliki paling sedikit 1 pemegang saham pengendali (PSP);
- Penyelenggara harus terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari OJK;
- Penyelenggara konvensional yang melakukan konversi menjadi Penyelenggara berdasarkan prinsip Syariah wajib memperoleh persetujuan dari OJK;
- Calon pihak utama (PSP, direksi, dewan komisaris, dan DPS) wajib memperoleh persetujuan dari OJK sebelum menjalankan tindakan, tugas, dan fungsinya sebagai pihak utama;
- LPBBTI dapat dilakukan melalui pendanaan produktif dan pendanaan multiguna;
- Batas maksimum pendanaan oleh setiap pemberi dana dan afiliasinya paling banyak 25% dari posisi akhir pendanaan pada akhir bulan;
- Penyelenggara wajib memenuhi ketentuan batas maksimum manfaat ekonomi pendanaan;
- Untuk mendukung program pemerintah, Penyelenggara dapat melakukan kerja sama dengan instansi pemerintah untuk menjadi mitra distribusi atas surat berharga negara;
- Penyelenggara wajib menggunakan sistem elektronik dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dan wajib dimiliki, dikuasai, dan dikendalikan oleh Penyelenggara;
- Penyelenggara wajib menyampaikan data transaksi pendanaan kepada pusat data fintech lending OJK dengan mengintegrasikan Sistem Elektronik milik Penyelenggara pada pusat data fintech lending;
- Penyelenggara wajib setiap saat memiliki ekuitas paling sedikit Rp12.500.000.000 (dua belas milyar lima ratus juta rupiah);
- Penyelenggara wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) anggota direksi;
- Penyelenggara wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang anggota dewan komisaris dan paling banyak sama dengan jumlah anggota direksi;
- Penyelenggara berdasarkan prinsip syariah wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) anggota dewan pengawas syariah;
- Penyelenggara wajib memiliki unit audit internal yang dijalankan oleh paling sedikit 1 (satu) orang SDM; dan
- Permohonan perizinan, permohonan persetujuan dan pelaporan disampaikan melalui sistem jaringan komunikasi data OJK.
POJK ini berlaku sejak diundangkan pada tanggal 4 Juli 2022 dan sekaligus mencabut POJK 77/2016.
Kesimpulan
P2P lending merupakan solusi finansial modern yang menawarkan banyak manfaat bagi peminjam dan pemberi dana. Industri ini memiliki potensi besar untuk terus berkembang di Indonesia. Guna mengatasi berbagai tantangan yang ada, pemerintah melalui OJK sudah mengeluarkan sejumlah aturan salah satunya POJK Nomor 10/POJK.05/2022. POJK terbaru ini diterbitkan sebagai upaya untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada.
Baca Juga: Jenis Kejahatan Cyber dan Cara Pencegahannya