Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. Hal ini sebagaimana penjelasan dari Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan, setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Dikutip dari kompas.id, Orang Dengan Gangguan Jiwa seringkali tidak terpenuhi dalam penggunaan hak politik dalam pemilihan umum. Hal ini disebabkan antara lain, karena sejumlah gangguan kejiwaan tidak kasatmata sementara aparat penegak hukum belum memiliki perspektif peka disabilitas mental, dan terbatasnya layanan psikiatri forensik.
Dalam Undang-undang No 17 tahun 2023 dijelaskan, masyarakat yang memiliki hak pilih wajib memenuhi enam syarat, yakni WNI, berusia 17 tahun, tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, berdomisili di wilayah administratif pemilih yang dibuktikan dengan KTP elektronik, dan tidak menjadi anggota TNI atau Polri.
Pada Pemilu 2014, penyelenggara pemilu memberi hak kepada ODGJ untuk memilih. Saat Pemilu 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan, syarat “tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan” bertentangan dengan konstitusi. Sepanjang frasa terganggu jiwa atau ingatan tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa atau ingatan permanen menurut profesional bidang kesehatan.
Pernyataan MK akhirnya menjadi pedoman KPU untuk menetapkan ODGJ memiliki hak pilih. Meski demikian, tidak semua ODGJ menggunakan hak pilih meski sudah terdata. Pasalnya, saat hari pemungutan suara, mereka tidak mampu hadir dan tidak mampu menggunakan hak suaranya seperti pemilih normal.
Untuk Pemilu 2024, sampai saat ini KPU tetap mendata ODGJ sebagai pemilih meskipun banyak pendapat yang menyarankan, saat pemilihan yang meragukan keabsahannya. Pengamat politik dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Dr. Bismar Arianto berpendapat, ODGJ dalam kondisi sedang maupun berat hilang kewajibannya untuk menggunakan hak suara pada pemilu. “Pemaksaan ODGJ menjadi pemilih justru dapat menimbulkan berbagai permasalahan, seperti hak pilih digunakan oleh pihak pendamping,” ungkap Bismar seperti dikutip dari antaranews.com.