Netralitas masih menjadi permasalahan serius bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), terutama saat momentum pemilihan kepala daerah atau Pilkada. Modus politisasi birokrasi akan semakin rentan terjadi pada masa Pilkada serentak yang digelar 27 November 2024 mendatang. Pilkada serentak ini merupakan Pilkada nasional pertama dengan jumlah daerah terbanyak yang dilaksanakan di 545 daerah kabupaten/kota. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) telah memprediksi akan ada lonjakan kasus ketidaknetralan ASN mendekati pemungutan suara Pilkada 2024. Menilik pada kontestasi Pilpres Februari lalu, data KASN menunjukan bahwa ratusan ASN kedapatan melanggar netralitas pemilu. Sebanyak 264 ASN terbukti melanggar dan dijatuhi sanksi, sementara 181 ASN ditindaklanjuti oleh pejabat pembina kepegawaian dengan sanksi. 

Sementara pada pelaksanaan Pilkada di tahun 2020, KPU dan Bawaslu memiliki tantangan tersendiri dalam menangani pelanggaran netralitas ASN, tercatat pada saat itu terjadi 1.536 kasus pelanggaran netralitas ASN. Tuntutan agar ASN bertindak netral bertujuan agar kerja pemerintahan dalam melayani publik dapat tercapai dengan optimal. Netralitas ASN pada pilkada memiliki arti bahwa ASN tidak boleh menunjukkan keberpihakan kepada kandidat atau partai yang menjadi peserta pemilihan umum. Aturan ASN harus netral dalam pemilu diatur secara tegas di peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) diatur bahwa ASN memiliki asas netralitas yang harus dipatuhi dalam menyelenggarakan kebijakan dan manajemen. 

Netralitas ASN menjadi salah satu faktor penting dalam menjamin terselenggaranya Pilkada yang demokratis dan berkualitas. Netralitas ASN menjadi pilar fundamental dalam demokrasi, sebab sebagai abdi negara, ASN harus melayani masyarakat tanpa memihak salah satu golongan tertentu. Diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU ASN, pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Pada Pasal 12 UU ASN pun ditegaskan bahwa pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Lebih lanjut, aturan tegas mengenai larangan ASN menunjukan ketidaknetralan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 94/2021”). Dalam Pasal 5 huruf n dijelaskan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sekarang disebut Aparatur Sipil Negara (ASN) dilarang memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara:

  1. Ikut kampanye;
  2. Menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS;
  3. Sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain;
  4. Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
  5. Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye;
  6. Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang sudah menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat; dan/atau
  7. Memberikan surat dukungan disertai fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk.

ASN yang tidak menaati ketentuan mengenai kewajiban netralitas akan dijatuhi hukuman disiplin. Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) PP 94/2021, terdapat tiga tingkatan hukuman disiplin, meliputi hukuman disiplin ringan, hukuman disiplin sedang, dan hukuman disiplin berat. Secara tegas dalam Pasal 8 ayat (2) sampai (4) PP 94/2021 diatur mengenai sanksi atas pelanggaran yang akan diterima ASN, di antaranya:

Pasal 8 ayat (2) mengenai jenis hukuman disiplin ringan terdiri atas:

  1. Teguran lisan;
  2. Teguran tertulis; atau
  3. Pernyataan tidak puas secara tertulis.

Pasal 8 ayat (3) mengenai jenis hukuman disiplin sedang terdiri atas:

  1. Pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 6 (enam) bulan;
  2. Pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 9 (sembilan) bulan;
  3. Pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% (dua puluh lima persen) selama 12 (dua belas) bulan.

Pasal 8 ayat (4) mengenai jenis hukuman disiplin berat terdiri atas:

  1. Penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 (dua belas) bulan;
  2. Pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 (dua belas) bulan; dan
  3. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.

Pelanggaran terhadap kewajiban netralitas pemilu bagi ASN termasuk ke dalam hukuman disiplin sedang dan hukuman disiplin berat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 13 huruf (g) dan Pasal 14 huruf (i) PP 94/2021. Meski secara tegas telah diatur mengenai kewajiban melaksanakan asas netralitas, nyatanya hal ini sulit direalisasikan secara penuh karena ASN masih memiliki hak pilih sebagai warga negara. Hal ini pun harus menjadi perhatian lembaga berwenang seperti KPU dan Bawaslu untuk melakukan pencegahan secara ketat terkait netralitas ASN jelang Pilkada serentak.

Baca juga: Sistem Pemilu Ideal Untuk Indonesia, Proporsional Terbuka atau Tertutup?

 Daftar Hukum:

Referensi: