NAPZA merupakan kependekan dari  narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lain baik zat alami atau sintetis. Napza dibagi menjadi tiga jenis yaitu narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya yang mengacu pada kelompok senyawa yang dapat menyebabkan kecanduan. Contoh narkotika adalah codein, opium, dan LSD, sementara yang termasuk dalam psikotropika sabu-sabu, ekstasi, dan demerol.

Dalam dunia medis, narkotika digunakan dan diproteksi hanya untuk kepentingan dan kebutuhan di bidang kesehatan. Untuk itu penggunaan Napza legal dan dibenarkan secara hukum dalam dosis tertentu. Secara medis penyalahgunaan Napza berakibat pada rusaknya fungsi organ tubuh si pengguna, diantaranya membahayakan syaraf-syaraf otak. Dari perspektif sosial, penyalahgunaan Napza mengancam tatanan sosial kemasyarakatan dan ketahanan nasional.

Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika merupakan hasil ratifikasi Single Convention Drugs Tahun 1961 melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol 1972 yang mengubahnya.

Konvensi ini menjadi landasan yuridis dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sedangkan Convention on Psychotropic Substances Tahun 1971 diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention On Psychotropic Substances 1971  dan menjadi landasan yuridis dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Sehingga ada pemisahan antara Undang-Undang Narkotika dan Undang-undang Psikotropika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika secara gamblang menguraikan kegiatan mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan narkotika, yang jika dilakukan tanpa pengendalian dan pengawasan dari pihak yang berwenang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Perbedaan Narkotika dan Psikotropika

Undang-undang membedakan antara narkotika dan psikotropika. Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disebutkan,  narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.

Sementara Psikotropika menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Narkoba merupakan bahan/zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan/psikologi (pikiran, perasaan dan perilaku) seseorang, serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi.

Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, penggolongan narkotika terbagi menjadi tiga yakni:

Narkotika golongan I : jenis narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan seperti opium mentah, tanaman koka, daun koka, kokain mentah, heroina, metamfetamina, dan tanaman ganja.

Narkotika golongan II, merupakan jenis narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan seperti ekgonina, morphine methobromide, dan morfina.

Narkotika golongan III, merupakan narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan yaitu etilmorfina, kodeina, polkodina, dan propiram.

Sementara itu, obat golongan narkotika yang sering digunakan dalam pelayanan medis seperti dikutip dari guesehat.com adalah, Morfina dalam bentuk cairan untuk injeksi, serta tablet immediate release maupun controlled release. Fentanil,  dalam bentuk injeksi untuk cairan juga transdermal patch untuk ditempelkan di kulit. Pethidine,  dalam bentuk cairan injeksi dan juga termasuk narkotika golongan dua.

Selain itu Oksikodon, dalam bentuk cairan injeksi maupun tablet controlled release, Hidromorfon dalam bentuk tablet controlled release dan Kodein dalam bentuk sirup maupun tablet. Selain mengatasi nyeri, kodein juga berfungsi sebagai obat batuk karena dapat menekan pusat batuk yang ada di otak.

Aturan Hukum Narkoba Multitafsir

Salah satu permasalahan yang belum diakomodir secara jelas adalah terkait pengaturan pengguna narkotika di dalam Undang-undang  Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam Pasal 1 angka 15 menyatakan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Menurut penyuluh Narkoba BNN Ratih Frayunita Sari, S.I.Kom., M.A, penyalahguna narkotika dapat diartikan secara luas termasuk produsen, pengedar maupun pengguna.

Hal ini menyebabkan kedudukan pengguna narkotika menjadi sulit untuk diposisikan apakah sebagai pelaku atau korban dari kejahatan tindak pidana narkotika. Jika diposisikan sebagai pelaku maka akan dijatuhkan hukuman pidana dan jika diposisikan sebagai korban maka akan diarahkan untuk rehabilitasi. Ketidakjelasan pengaturan tersebut akan menyebabkan salah tafsir dalam memberikan hukuman pidana.

“Dalam ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa setiap pecandu wajib menjalani rehabilitasi, namun dalam ketentuan selanjutnya disebutkan bahwa dalam prosedur yang harus dilewati dalam tahapan rehabilitasi harus mendapatkan persetujuan dari korban yang bersangkutan. Hal ini merupakan dua hal yang bertentangan karena pada umumnya pecandu tidak akan memberikan persetujuannya untuk menjalani rehabilitasi,” kara Ratih seperti dikutip dari bnn.go.id.

Menurut Ratih, ada tiga hal dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkoba yang perlu direvisi yakni, pengaturan yang lebih jelas mengenai posisi pengguna sebagai korban, penerapan pasal terkait dengan pecandu narkotika dan aturan terkait pecandu yang masih rancu terutama dalam menentukan kategori antara pecandu dan penyalahguna narkotika.

Baca Juga: Perlindungan Hukum Peserta BPJS