Kita telah mengenal alasan mengapa penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih diminati. Yakni karena proses penyelesaian yang cepat, melibatkan orang-orang yang ahli di bidangnya dan prosesnya dilaksanakan secara tertutup. Namun demikian, arbitrase memiliki kelemahan, seperti dikutip dari Buku “Mengenal Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase” yang ditulis Dr. R.M. Gatot P. Soemartono:
- Dalam praktik walaupun pihak yang bersengketa telah memuat klausula arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka mengajukan perkaranya ke pengadilan. Masih ada pengadilan negeri yang menerima gugatan perkara tersebut. Padahal disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2), “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase…”).
- Putusan arbitrase tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang tepat dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. Meskipun arbiter memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang mudah bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak para pihak yang bersengketa. Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa putusan arbitrase tidak adil dan sebaliknya.
- Putusan arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia dan tidak dipublikasikan. Akibatnya, putusan tersebut bersifat mandiri dan terpisah dengan lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusan-putusan arbitrase atas suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter terkenal di bidangnya. Secara teori hilangnya precedence tersebut juga dapat berakibat timbulnya putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian sengketa serupa di masa yang akan datang.