Kita telah mengenal alasan mengapa penyelesaian sengketa melalui arbitrase lebih diminati. Yakni karena proses penyelesaian yang cepat, melibatkan orang-orang yang ahli di bidangnya dan prosesnya dilaksanakan secara tertutup. Namun demikian, arbitrase memiliki kelemahan, seperti dikutip dari Buku “Mengenal Alternatif Penyelesaian  Sengketa dan Arbitrase” yang ditulis Dr. R.M. Gatot P. Soemartono:  

  1. Dalam praktik walaupun pihak yang bersengketa  telah memuat klausula arbitrase dalam perjanjian bisnisnya, tetap saja mereka mengajukan perkaranya ke pengadilan. Masih ada pengadilan negeri yang menerima gugatan perkara tersebut. Padahal disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2), “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase…”).
  2. Putusan arbitrase tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk  memberikan putusan yang tepat dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak.  Meskipun arbiter memiliki keahlian teknis yang tinggi, bukanlah hal yang  mudah bagi majelis arbitrase untuk memuaskan dan memenuhi kehendak  para pihak yang bersengketa. Pihak yang kalah akan mengatakan bahwa  putusan arbitrase tidak adil dan sebaliknya.
  3. Putusan arbitrase dan seluruh pertimbangan di dalamnya bersifat rahasia  dan tidak dipublikasikan. Akibatnya, putusan tersebut bersifat mandiri dan  terpisah dengan lainnya, sehingga tidak ada legal precedence atau  keterikatan terhadap putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Artinya, putusan-putusan arbitrase atas suatu sengketa terbuang tanpa manfaat, meskipun di dalamnya mengandung argumentasi-argumentasi berbobot dari para arbiter  terkenal di bidangnya.  Secara teori hilangnya precedence tersebut juga dapat berakibat timbulnya putusan-putusan yang saling berlawanan atas penyelesaian  sengketa serupa di masa yang akan datang.