Oleh R. Yudha Triarianto Wasono, S.H., M.H.

 

Belum lama ini pada awal Maret 2020, Presiden Joko Widodo telah mengumumkan dua Warga Negara Indonesia (WNI) positif mengidap Covid-19 atau yang biasa dikenal virus corona. Berita ini menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat, ada yang melakukan rush pembelian bahan-bahan pokok dan masker di pasaran, namun ada juga yang bersikap tenang dan tidak panik.

Virus corona telah menyebar secara luas hampir ke seluruh negara dalam waktu yang singkat. Pada bulan Maret 2020, tercatat kasus virus corona telah menjangkit lebih dari seratus ribu orang di dunia, dengan angka kematian mencapai lebih dari 3.800 jiwa. Penyebaran ini bukannya ada pembiaran, kota Wuhan di Tiongkok yang memiliki jumlah infeksi virus corona terbanyak di dunia juga telah ditutup aksesnya sejak Januari 2020.

Sebagai respon dari wabah virus corona ini, perusahaan di Tiongkok ramai-ramai stop beroperasi. Bahkan menurut laporan UNESCO, ada 13 negara yang meliburkan kegiatan belajar mengajar di seluruh sekolah. Tidak sedikit acara konferensi, seminar, kelas, workshop, dan laga olahraga juga tertunda penyelenggaraannya akibat wabah virus corona. Dampak yang berat juga dirasakan dari sektor industri pariwisata dan transportasi udara yang mengalami penurunan cukup signifikan.

Pandemi corona ini belum diketahui kapan berakhirnya, sehingga berdampak negatif pada kegiatan bisnis dan perekonomian secara umum di dunia dan negara Tiongkok khususnya, serta menimbulkan ketidakpastian secara global. Risiko resesi juga akan meningkat seiring makin lamanya virus corona ini bisa dihentikan.

 

Wabah Corona di Singapura

Wabah corona dapat menimbulkan keadaan memaksa yang menyebabkan adanya kegagalan pemenuhan kewajiban yang telah diperjanjikan suatu pihak kepada pihak lainnya. Kita dapat mengambil contoh negara tetangga, Singapura yang pemerintahnya telah resmi mengumumkan status Disease Outbreak Response System Condition (DORSCON) menjadi level oranye. Dalam hal adanya kebijakan pemerintah yang secara resmi menyatakan keadaan bencana ini, para pihak dalam perjanjian bisa mengandalkan kalusul force majeure untuk menunda atau melepaskan dari pelaksanaan kewajiban dalam perjanjian.

 

Force Majeure

Lazimnya dalam suatu perjanjian yang dibuat para pihak, dapat ditemukan adanya klausula force majeure. Force majeure sering diterjemahkan sebagai keadaan memaksa yang menyebabkan seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk.

Hukum Indonesia telah mengatur mengenai force majeure, yang dalam KUHPerdata disebut dengan istilah overmacht atau keadaam memaksa. Memang tidak secara eksplisit dijelaskan tentang definisi dari force majeure, namun keadaan memaksa telah diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata.

Pasal 1244 KUHPerdata:

“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”

Pasal 1245 KUHPerdata:

“Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”

Ketentuan dalam kedua pasal tersebut mengatur keadaan memaksa merupakan hal yang “tak terduga”“debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan”, serta “tak dapat dipertanggungkan kepadanya”.

Namun keadaan memaksa memang tidak dijabarkan jenisnya dalam KUHPerdata. Praktek yang sering dilakukan adalah menjabarkan jenis-jenis force majeure dalam suatu kontrak, seperti peristiwa yang terjadi di luar kuasa para pihak, yaitu banjir, gempa, hujan badai, angin topan, (atau bencana alam lainnya), kebakaran, pemadaman listrik, perang, demonstrasi, perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi, blokade, embargo, perselisihan perburuhan, mogok, epidemi, dan sanksi terhadap suatu pemerintahan.

 

Kebijakan Pemerintah Indonesia

Penyebaran virus corona yang terjadi saat ini, membuat beberapa negara menutup akses masuknya warga negara lain maupun impor barang-barang tertentu yang berasal dari wilayah epidemi. Seperti negara Indonesia yang telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No.10/2020 tentang Larangan Sementara Impor Binatang Hidup dari Tiongkok yang resmi diundangkan pada tanggal 7 Februari 2020. Di negara Tiongkok sendiri, beberapa pabrik tutup sementara sebagai respon dari adanya wabah virus corona. Bahkan mengutip dari media nasional, beberapa pabrik di Jawa Tengah terancam tutup karena kelangkaan bahan baku yang biasa diimpor dari Tiongkok.

 

Force Majeure dalam Wabah Corona

Yang menjadi pertanyaan bagaimana apabila dalam suatu kontrak tidak dicantumkan adanya klausula force majeure? Atau bagaimana jika para pihak yang membuat kontrak tidak memasukkan epidemi wabah penyakit menjadi bagian dari keadaan force majeure?

Dalam konteks hukum perjanjian, apa yang disepakati para pihak akan menjadi hukum bagi yang harus ditaati. Apabila para pihak tidak mencantumkan klausula force majeure dalam perjanjian, maka dapat mengacu pada ketentuan dalam Pasal 1245 KUHPerdata yang sifatnya melengkapi isi perjanjian. Debitor dalam hal ini dapat membuktikan kegagalannya memenuhi prestasi akibat peristiwa tidak terduga.

Yang rawan menjadi masalah adalah apabila para pihak mengatur sebaliknya, yaitu epidemi tidak menjadi bagian dari force majeure. Dengan tidak memasukkan epidemi penyebaran virus menjadi salah satu jenis dari keadaan force majeure, maka hal ini bisa tidak digolongkan sebagai keadaan memaksa.

Perisitiwa wabah virus corona yang terjadi seperti sekarang di Indonesia sulit untuk langsung diartikan sebagai force majeure. Tidak semua perusahaan berhenti beroperasi akibat virus ini. Pemerintah belum mengeluarkan kebijakan seperti lock down, keharusan self quarantine atau work from home kepada masyarakat, maupun penutupan akses masuk keluar manusia dan/atau barang.

Lain halnya jika ada keputusan atau kebijakan pemerintah daerah maupun nasional yang ketentuannya secara langsung menghambat pelaksanaan prestasi atau kewajiban dalam kontrak perjanjian, maka hal ini bisa digolongkan dalam keadaan force majeure. Keadaan seperti saat ini lebih mudah digolongkan sebagai force majeure apabila dipastikan dengan adanya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berwenang. Sehingga terhalangnya suatu pihak untuk memenuhi prestasi akibat wabah virus corona termasuk dalam keadaan force majeure. Maka risiko yang ditimbulkan karenanya ditanggung bersama oleh para pihak dalam perjanjian. Kecuali dalam hal para pihak sudah mengatur siapa yang menanggung risiko jika terjadi keadaan force majeure.

Perlu diperhatikan juga apabila perjanjian antara subjek hukum dari negara berbeda, maka rujukannya adalah hukum yang dipilih para pihak dalam perjanjian. Jika demikian, para pihak harus melihat ketentuan force majeure dalam hukum negara yang dipilih tersebut.

Langkah yang dapat diambil oleh para pihak guna menghindari sengketa, salah satunya dengan melakukan renegosiasi perjanjian atau menjadwal ulang prestasi yang harus dilakukan atau kewajiban yang harus dibayar sampai kondisi kembali normal. Harapannya para pelaku usaha dapat saling memberikan kelonggaran sebagai bentuk keprihatinan dalam kondisi wabah seperti saat ini.

 

DISCLAIMER:

Any information contained in this Article  is provided for informational purposes only and should not be construed as legal advice on any subject matter.  You should not act or refrain from acting on the basis of any content included in this Legal Update without seeking legal or other professional advice.  This document is copyright protected. No part of this document may be disclosed, distributed, reproduced or transmitted in any form or by any means, including photocopying and recording or stored in retrieval system of any nature without the prior written consent of SIP Law Firm.

Setiap informasi yang terkandung dalam Artikel ini disediakan hanya untuk tujuan informasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai nasihat hukum tentang masalah apa pun. Anda tidak boleh bertindak atau menahan diri dari bertindak berdasarkan konten apa pun yang termasuk dalam Update Hukum ini tanpa mencari nasihat hukum atau profesional lainnya. Dokumen ini dilindungi hak cipta. Tidak ada bagian dari dokumen ini yang dapat diungkapkan, didistribusikan, direproduksi atau dikirim dalam bentuk apa pun atau dengan cara apa pun, termasuk fotokopi dan rekaman atau disimpan dalam sistem pengambilan apa pun tanpa persetujuan tertulis sebelumnya dari Firma Hukum SIP.