Hukum perdata telah mengatur berbagai aspek penting yang berkaitan dengan lahirnya, berjalannya, dan berakhirnya suatu perjanjian. Salah satu aspek yang sering digunakan dalam praktik, namun belum banyak dipahami secara mendalam oleh masyarakat awam, adalah adanya unsur waktu dalam suatu perjanjian. Unsur ini dikenal dengan istilah tijdsbepaling (penetapan waktu). Dalam perjanjian, waktu memegang peranan yang sangat krusial. Setiap perjanjian selalu menetapkan jangka waktu tertentu yang wajib dipatuhi, baik berupa pembayaran harian maupun bulanan.
Kesepakatan mengenai waktu dalam suatu perjanjian tidak hanya terbatas pada penentuan kapan masa sewa berakhir atau berapa lama jangka waktu sewa berlangsung, tetapi juga mencakup pengaturan mengenai pelaksanaan pembayaran uang sewa. Apakah dilakukan sekaligus di muka, dibayarkan secara berkala setiap bulan, atau pada tanggal tertentu yang disepakati para pihak. Hal ini menunjukkan bahwa para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan mekanisme pembayaran dan jangka waktu yang sesuai dengan kebutuhan serta kesepakatan bersama, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Tijdsbepaling dalam Hukum Perdata
Penetapan waktu dalam suatu perjanjian dianggap hanya berpihak kepada kepentingan debitur, kecuali sifat dari perjanjian tersebut ada suatu hal yang berhubungan dengan kepentingan kreditur. Kewajiban yang baru jatuh tempo pada waktu tertentu tidak dapat ditagih sebelum saat tersebut tiba. Namun, apabila debitur melakukan pembayaran lebih awal sebelum jatuh tempo, maka pembayaran itu tetap sah dan tidak dapat diminta kembali. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1269 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang menegaskan bahwa dalam perikatan yang disertai penetapan waktu, prestasi hanya dapat ditagih pada saat waktu yang telah ditentukan, sedangkan pembayaran yang dilakukan sebelum waktunya tidak dapat dibatalkan atau ditarik kembali.
Berkaitan dengan hal diatas, Pasal 1258 KUHPerdata telah menyebutkan bahwa:
“Jika suatu perikatan tergantung pada suatu syarat bahwa suatu peristiwa akan terjadi dalam waktu tertentu, maka syarat tersebut dianggap tidak ada, bila waktu tersebut telah lampau sedangkan peristiwa tersebut setiap waktu dapat dipenuhi, dan syarat itu tidak dianggap tidak ada sebelum ada kepastian bahwa peristiwa itu tidak akan terjadi.”
Menurut Herlien Budiono yang dikutip dari Hukumonline, menjelaskan makna “syarat” dalam ketentuan Pasal 1258 KUHPerdata yang berhubungan dengan makna tijdsbepaling (penetapan waktu), menjelaskan bahwa suatu hal pasti akan datang meskipun waktunya belum dapat ditentukan. Jadi, pada perikatan dengan ketetapan waktu, peristiwa di kemudian hari akan terjadi, hanya tinggal menunggu waktu saja. Lebih lanjut, dalam ketentuan Pasal 1268 KUHPerdata menjelaskan suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya.
Sebagai contoh, peristiwa yang dapat dipastikan terjadi misalnya kematian seseorang atau tercapainya usia tertentu. Sementara itu, istilah “tidak pasti” memiliki makna yang lebih fleksibel, karena dapat ditafsirkan berbeda-beda tergantung kesepakatan para pihak. Istilah tersebut bisa merujuk pada suatu peristiwa yang belum tentu terjadi, peristiwa yang mungkin terjadi, atau keadaan di mana suatu peristiwa memang pasti akan terjadi namun waktunya belum dapat dipastikan.
Baca juga: Mengenal Putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) dalam Perkara Perdata
Jenis-Jenis Tijdsbepaling
Buku III KUHPerdata telah memuat tijdsbepaling yang tercantum dalam Pasal 1268-1271 KUHPerdata. Penetapan waktu juga dapat dipahami sebagai jangka waktu atau periode untuk melaksanakan prestasi, yaitu batas waktu yang diberikan kepada debitur guna memenuhi kewajibannya. Bentuk perikatan dengan ketentuan waktu ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
- penetapan waktu yang menangguhkan berlakunya perikatan; dan
- penetapan waktu yang mengakhiri atau menghapuskan perikatan.
Sebagai contoh, seorang pekerja ditugaskan menyelesaikan pembangunan sebuah tembok dalam kurun waktu 1 (satu) bulan. Penentuan jangka waktu (tijdvak) tersebut dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara:
- menetapkan dua titik waktu yang berbeda, yakni kapan dimulainya dan kapan berakhirnya masa tersebut, contohnya sejak 5 Agustus 2015 hingga 5 Agustus 2016;
- menetapkan suatu kurun waktu tertentu tanpa menyebut tanggal mulai dan berakhirnya secara spesifik, misalnya “selama bulan Agustus 2015”.
Dengan demikian, tijdsbepaling dalam Hukum Perdata merupakan penetapan waktu dalam suatu perikatan yang berfungsi menangguhkan atau mengakhiri pelaksanaan kewajiban, tanpa memengaruhi keberlakuan perikatannya. Penetapan waktu ini umumnya berpihak pada kepentingan debitur, namun dapat pula terkait kepentingan kreditur sesuai sifat perjanjian. Peristiwa yang menjadi dasar tijdsbepaling dapat berupa hal yang pasti terjadi (misalnya kematian atau usia tertentu) maupun yang sifatnya tidak pasti.***
Baca juga: Pentingnya Alat Bukti dalam Kasus Perdata
Daftar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).
Referensi:
- Kenali Konsep Tijdsbepaling dalam Hukum Perikatan. HukumOnline. (Diakses pada tanggal 28 Agustus 2025 pukul 13.51 WIB).
- Joko Sriwidodo dan Kristiawanto. Memahami Hukum Perikatan. Kepel Pres. hlm 35 (Diakses pada tanggal 28 Agustus 2025 pukul 16.48 WIB).
- Herlien Budiono. Perikatan Bersyarat dan Beberapa Permasalahannya, hlm 89-90 (Diakses pada tanggal 28 Agustus 2025 pukul 14.51).