Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, bea merupakan pungutan suatu negara yang dikenakan setiap barang ekspor maupun impor. Sedangkan cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang yang memiliki sifat atau kriteria yang sudah ditetapkan oleh perundang-undangan.

Dikutip dari beacukai.go.id, Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Kepabeanan menyangkut Peraturan Perundang-undangan Nasional yang terdiri dari :

  1. Undang-undang No.21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang berkaitan dengan Undang Undang Kepabeanan. Undang-undang ini terkait Kepelabuhan yang tercantum dalam Pasal 21.

Dalam ayat (1) meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya. Fungsi pelabuhan yang dimaksud untuk menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan berlayar, serta tempat perpindahan intra dan/atau antar moda.

Dalam Ayat (2), penyelenggaraan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara koordinasi antara kegiatan pemerintah dan kegiatan pelayanan jasa di pelabuhan

Dalam Ayat (3), pelaksanaan kegiatan pemerintahan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi fungsi keselamatan pelayaran, bea dan cukai, imigrasi, karantina, serta keamanan dan ketertiban.

Dalam penyelenggaraan kepelabuhan instansi yang terlibat sesuai dengan tugas dan fungsi  salah satunya adalah fungsi Bea dan Cukai sebagaimana diatur dalam ketentuan

  1. Undang-Undang Nomor tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Restablishing The World Trade Organization (UU Pengesahan WTO).

Konsekuensi logis yang harus diakomodir oleh Pemerintah Indonesia selain menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (UU Pengesahan WTO) adalah dengan terbitnya kewajiban bagi pengaturan Kepabeanan Indonesia untuk menerapkan prinsip-prinsip yang berlaku dalam Perjanjian WTO, yaitu:

  • Trade without discrimination. Prinsip ini mengesampingkan prinsip: (i) Most Favoured Nation dengan pengecualian-pengecualian khusus, agar tercipta perlakuan perdagangan antar negara yang tidak diskriminatif dan (ii) National Treatment, yaitu perlakuan yang sama terhadap barang dan jasa produksi dalam negeri maupun hasil impor.
  • Free trade: gradually, through negotiation. Prinsip ini bertujuan untuk menanggulangi hambatan-hambatan perdagangan secara bertahap agar volume transaksi dapat meningkat. Hambatan tersebut termasuk hambatan Kepabeanan (atau Tarif) dan penanganan hambatan impor atau quota yang secara ketat mengatur jumlah barang.
  • Predictability: through binding and transparency. Prinsip ini merupakan patokan komitmen setiap anggota WTO yang sepakat untuk membuka pasarnya terhadap barang dan jasa. Terhadap barang-barang, patokan ini berpegangan pada batas-batas yang diatur dalam tingkat tarif yang ditetapkan Kepabeanan. Untuk itu, diperlukan transparansi setiap negara untuk mempublikasikan kebijakan terkait patokan-patokan tarif baik pada tingkat domestik dan multilateral sejelas mungkin.
  • Promoting fair competition. Sistem yang ditawarkan oleh WTO termasuk memberikan kebebasan pembayaran tarif dan, pada keadaan tertentu, bentuk-bentuk proteksi lainnya. Singkat kata, WTO merupakan sistem aturan-aturan yang diperuntukkan bagi persaingan pasar yang terbuka, adil dan tanpa distorsi.
  • Encouraging development and economic reform. Prinsip ini merupakan prinsip terpenting bagi negara-negara berkembang mengingat sistem WTO ini mendukung pembangunan negara-negara anggotanya. Oleh karena itu, khusus bagi negara-negara berkembang diberikan keleluasaan dalam suatu kurun waktu untuk melakukan implementasi perjanjian-perjanjian dari sistem WTO. Hal ini merupakan ketentuan yang diwariskan dari GATT yang memberikan bantuan khusus dan konsesi dagang bagi negara-negara berkembang.