Pemerintah menaikkan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebesar 10% yang berlaku pada 5 Januari 2024 lalu.  Kenaikan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Perda PDRD).

Dalam Pasal 24 ayat (1) Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) telah ditetapkan kenaikan PBBKB sebesar 10%. Sebelumnya, kenaikan PBBKB hanya sebesar 5% sebagaimana tertera dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.  

Berdasarkan Pasal 23 Perda PDRD, dasar pengenaan PBBKB itu sendiri dari nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai. Dalam ketentuan Perda PDRD Pasal 1 angka 18,  yang dimaksud PBBKB adalah pajak bahan bakar kendaraan  bermotor dan alat berat.

PBBKB termasuk jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang didasari atas penghitungan oleh wajib pajak melalui Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). Berdasarkan Pasal 1 angka 20 Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 81 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penerbitan, Pengisian, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, dijelaskan secara rinci apa yang dimaksud SPTPD.

Jadi dengan kata lain, SPTPD merupakan surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

PBBKB merupakan pajak yang dipungut pemerintah daerah (pemda) atas penggunaan bahan bakar kendaraan. Objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor merupakan penyerahan bahan bakar dari penjual kepada konsumen. Pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh produsen atau importir bahan bakar kepada pihak penyalur bahan bakar seperti Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan bukan kepada konsumen atau pengguna. Sedangkan dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual bahan bakar sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Kenaikan PBBKB mendapat tanggapan beragam. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi dikutip dari cnbcindonesia.com mengatakan, PBBKB termasuk ke dalam komponen dalam menentukan harga BBM. Menurutnya, kenaikan PBBKB kemungkinan akan memberikan dampak pada kenaikan harga BBM. Fahmy menilai kenaikan PBBKB kurang tepat untuk diterapkan pada tahun politik karena akan menimbulkan gejolak sosial.

Direktur Jenderal Migas Tutuka Ariadji mengatakan, banyak pengusaha stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang keberatan atas kenaikan pajak tersebut. “Karena tiba-tiba ada kenaikan tanpa ada sosialisasi yang bagus,” kata Tutuka Ariadji seperti dikutip dari katadata.co.id. Ia juga menyoroti besaran  sebesar 10%, sementara angka ini merupakan kenaikan maksimal.

Kenaikan PBBKB diperkirakan sebagai salah satu cara agar masyarakat segera beralih menggunakan kendaraan listrik. Namun hal ini dibantah staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM Agus Tjahajana Wirakusumah. Hingga saat ini, kata Agus, minat masyarakat terhadap kendaraan listrik masih kurang karena harga masih tergolong mahal ditambah masyarakat belum siap mengadaptasi teknologi kendaraan listrik.

Keputusan menaikkan PBBKB harus dievaluasi karena bisa membuka peluang kenaikan harga BBM. Berdasarkan pengalaman, kebijakan yang terkait dengan kenaikan harga BBM akan memberikan implikasi  pada kenaikan harga barang dan yang akan menimbulkan gejolak sosial di masyarakat.

Baca Juga: Mengenal Pengadilan Pajak di Indonesia