Indonesia adalah salah satu negara  yang kerap masuk dalam daftar Priority Watch List (PWL)  yang diluarkan oleh Kamar Dagang Amerika Serikat (USTR).  Pada tahun 2021, Indonesia, bersama dengan Argentina, Chile, Cina, India, Rusia, Arab Saudi, Ukraina dan Venezuela dianggap sebagai negara-negara dengan pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terberat di dunia.

USTR melakukan pengawasan terhadap sembilan negara yang memiliki hubungan dagang dengan negara Paman Sam tersebut sebagai upaya untuk mengurangi kerugian akibat pelanggaran HKI bagi Amerika Serikat. Daftar  yang dikeluarkan USTR tersebut merupakan rekomendasi dari organisasi internasional yang bergerak dibidang pengawasan HKI atau IIPA. Pada laporannya, IIPA menilai tingkat pelanggaran HKI di Indonesia tergolong tinggi, terutama dalam bidang Hak Cipta, Merek dan Hak Paten.

Sejauh ini pemerintah Indonesia sudah berusaha agar Indonesia bisa keluar dari PWL. Upaya ini setidaknya telah dilakukan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM dan aparat penegak hukum (Polri) dengan memberantas barang-barang bajakan dan ilegal tersebut.

Namun, usaha yang dilakukan itu belum berbuah manis. Dalam dua tahun terakhir Indonesia masih masuk daftar pengawasan USTR tersebut.

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan Indonesia sulit untuk terbebas dari cap sebagai negara pembajak HKI. Hal ini bisa ditelaah dari beberapa sudut pandang, yakni;

  1. Tingkat ekonomi rendah

Mahalnya barang-barang asli atau orisinil menyebabkan sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah menggunakan barang bajakan dengan harga jauh lebih rendah. Contoh, software komputer orisinil yang dibandrol dengan harga tinggi. Karena keterbatasan daya beli, masyarakat lebih memilih barang bajakan karena dianggap memiliki kualitas sama tapi berharga murah.

  1. Tingkat kesadaran rendah

Secara umum masyarakat kurang memiliki kesadaran untuk menghargai suatu kreatifitas atau sebuah hasil karya yang berkualitas. Padahal apresiasi atau penghargaan itu sangat penting diberikan agar kreatifitas selalu terjaga dan masyarakat bisa ikut menikmati hasilnya.

  1. Perlu peningkatan pemahanan

Rendahnya kesadaran secara otomatis mempengaruhi pemahaman masyarakat. Umumnya masyarakat tidak paham bahwa untuk menghasilkan suatu karya berkualitas dibutuhkan tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Jadi sudah sewajarnya hasil karya tersebut mendapatkan  imbal (return) dari memanfaatkan hasil kreatifitasnya secara ekonomi.

Upaya penegakan hukum dan pemberantasan pembajakan memang kerap dilakukan oleh pihak berwenang, tetapi dirasa masih kurang maksimal.  Para pelaku pelanggaran belum diberi sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.

Bahkan, sanksi pada Undang-Undang 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) terasa terlalu ringan untuk menjerat para pelaku. Tidak sedikit pula sanksi yang diberikan jauh lebih ringan dari batas yang diatur undang-undang walaupun banyak yang sudah sesuai.

Penjatuhan sanksi kepada para pelanggar sangat terkait dengan bagaimana jalannya perkara selama persidangan dan bagaimana para pihak membuktikan dalil masing-masing. Sanksi yang diberikan  seharusnya dapat memberi rasa keadilan bagi pihak yang berperkara agar iklim penegakan HKI menjadi jelas dan terang.

Sanksi yang tegas diharapkan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali tindak pelanggaran HKI. Dalam pelanggaran merek, jika pelakunya diberi sanksi sangat berat bukan tidak mungkin tak ada lagi produk barang bajakan di pasaran.

Namun, hal tersebut juga harus dibarengi dengan peningkatan kesadaran masyarakat agar tidak membeli barang bajakan. Berdasarkan teori ekonomi, permintaan barang tinggi, produsen akan terus memproduksi barang tersebut.

Untuk itu, perlu adanya sinergi antara aparat penegak hukum dengan pihak DJKI dalam pemberantasan pembajakan HKI.  Para pemerhati dan konsultan HKI yang merupakan mitra dari DJKI juga harus mengambil peran mensosialisasikan pentingnya penegakan hukum terhadap pelaku pelanggar HKI. Selain itu, HKI sebagai salah satu sumber pendapatan negara dari para pelaku ekonomi kreatif harus terus digaungkan.

Tak hanya itu, pemerintah dan pihak terkait lainnya harus terus mensosialisasikan pentingnya HKI. Anak-anak sejak usia dini pun harus diberikan pengajaran akan pentingnya menghargai hasil kreatifiktas orang lain.

Upaya lainnya, dengan melaksanakan penyuluhan ke sekolah-sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Hal ini dilakukan agar masyarakat terbiasa menghargai kreatifitas orang lain.

Jika upaya itu terus dilakuan secara masif, masyarakat tidak akan lagi memandang dari murahnya harga barang bajakan dibandingkan harga barang orisinil.  Sebaliknya, masyarakat akan dapat memandang dari sudut pandang bahwa suatu hasil kreatifitas manusia haruslah mendapat penghargaan dan apresiasi agar kreatifitas tidak mati.

Memang harus diakui untuk mencapai kesadaran masyarakat pada titik tersebut diperlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.  Namun jika upaya itu tidak pernah dimulai, maka kesadaran itu tidak akan terbentuk.  Kesadaran itu tidak bisa lahir sendiri ditengah iklim masyarakat yang tingkat kesadaran untuk menghargai HKI masih rendah.

Karena itulah perlu adanya kerjasama dan sinergi antara masyarakat dan seluruh elemen bangsa agar Indonesia bisa keluar dari PWL. Indonesia adalah bangsa yang besar, tentunya kita semua memiliki tanggungjawab bersama untuk mewujudkan Indonesia bebas pembajakan HKI.

Informasi lainnya tentang hak cipta dapat kamu akses di halaman Informasi lengkap hak cipta 

Author / Contributor:

 Rakhmita Desmayanti S.H., M.H

Partner

Contact:

Mail       : rakhmita@siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975