Revolusi Industri 4.0 merupakan upaya transformasi menuju perbaikan dengan mengintegrasikan dunia online dan lini produksi, sehingga dunia usaha mengalami perkembangan yang sangat pesat. Tak hanya pada sektor industri, transformasi ini juga terjadi pada sektor jasa salah satunya adalah perpajakan dan kepabeanan-cukai. Namun harus diakui, masih terdapat sejumlah tantangan dan persoalan yang harus dihadapi di sektor kepabeanan. Setidaknya ada tiga masalah utama di sektor tersebut di antaranya adalah clarity atau kejelasan kebijakan, certainty atau kepastian pengaturan, dan consistency atau konsistensi penerapan kebijakan.
Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu-lintas barang masuk atau keluar daerah pabean dan pemungutan bea masuk dan bea keluar. Undang-Undang No. 17 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan telah memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) untuk melakukan pengawasan perdagangan internasional (ekspor-impor) serta menetapkan tarif pungutan bea masuk atau bea keluar.
Persoalan sengketa pajak (kepabeanan) kerap muncul ketika terjadi perbedaan pendapat antara wajib pajak (WP) dengan pejabat pajak/Bea Cukai, ketika salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang menjadi tugas dan kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan dan kepabeanan. Dalam Pasal 95 UU Kepabeanan mengatur apabila wajib pajak keberatan terhadap penetapan tarif bea ekspor atau impor dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan.
Agar dapat menjamin keadilan dalam proses pemeriksaan sengketa di pengadilan, wajib pajak dan pihak yang bersengketa perlu didampingi oleh kuasa hukum. Pihak kuasa hukum didefinisikan sebagai orang perseorangan yang mendampingi atau mewakili para pihak dalam beracara di pengadilan pajak.
Ada beberapa persyaratan untuk bisa menjadi kuasa hukum di pengadilan pajak. Selain mengantongi izin sebagai advokat (pengacara), diperlukan juga izin kuasa hukum dalam bidang perpajakan dan izin kuasa hukum bidang kepabeanan dan cukai. Untuk memperoleh izin ini, seseorang wajib menyampaikan surat permohonan kepada Ketua Pengadilan Pajak melalui sekretaris pengadilan, dan melampirkan sejumlah dokumen sebagai persyaratan.
Adapun persyaratan untuk menjadi kuasa hukum pengadilan pajak diatur oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 2022 tentang Pengadilan Pajak, dan Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK.01/2017 tentang Persyaratan Untuk Menjadi Kuasa Hukum Pada Pengadilan Pajak.
Secara definisi, kuasa hukum adalah orang perseorangan yang mendampingi atau mewakili para pihak saat sedang bersengketa dan beracara di pengadilan pajak. Definisi ini ditemukan pada Pasal 1 angka (2) Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK.01/2017 tentang Persyaratan untuk Menjadi Kuasa Hukum Pada Pengadilan Pajak.
Para pihak yang bersengketa di pengadilan pajak dapat didampingi atau diwakili oleh satu atau lebih kuasa hukum yang telah mengantongi surat kuasa khusus. Dalam surat kuasa khusus tersebut tertuang hak dan kewajiban dari pihak penerima kuasa.
Berdasarkan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, terdapat dua syarat utama untuk menjadi kuasa hukum tersebut, antara lain warga negara indonesia (WNI) dan mempunyai pengetahuan serta keahlian tentang peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan perpajakan dibuktikan dengan ijazah sarjana/diploma IV dibidang administrasi fiskal, akuntansi perpajakan, dan/atau kepabeanan dan cukai. Selain itu, seorang calon kuasa hukum harus melengkapi bukti dokumen empat keahlian tambahan, yaitu;
- Ijazah diploma III perpajakan dan/atau kepabeanan dan cukai dari perguruan tinggi yang terakreditasi;
- Brevet perpajakan dari instansi atau lembaga penyelenggara brevet perpajakan;
- Sertifikat keahlian kepabeanan dan cukai dari instansi atau lembaga pendidikan dan pelatihan kepabeanan dan cukai;
- Surat atau dokumen yang menunjukkan pengalaman bekerja pada instansi pemerintah dibidang teknis perpajakan dan/atau kepabeanan dan cukai.
Persyaratan lainnya untuk menjadi kuasa hukum dapat ditemukan pada PMK No. 184/2017 tentang Persyaratan untuk Menjadi Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak. Pada Pasal 5 aturan a quo menyebutkan beberapa persyaratan khusus untuk menjadi kuasa hukum, antara lain:
- Mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
- Mempunyai bukti tanda terima penyampaian SPT tahunan PPh orang pribadi untuk dua tahun terakhir;
- Memiliki Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
- Tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau pejabat negara;
- Menandatangani pakta integritas;
- Telah melewati jangka waktu dua tahun setelah diberhentikan dengan hormat sebagai Hakim Pengadilan Pajak untuk orang yang pernah mengabdikan diri sebagai hakim pengadilan pajak; dan
- Memiliki izin kuasa hukum.
Persyaratan di atas harus dilengkapi dengan surat izin kuasa hukum yang diterbitkan oleh Ketua Pengadilan Pajak. Tata cara permohonan izin kuasa hukum diatur dalam Peraturan Ketua Pengadilan Pajak Nomor Per-01/PP/2018.
Baca Juga: Mekanisme dan Akses Gugatan Sederhana di Indonesia