Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa perubahan ke berbagai sektor, termasuk dalam hukum dan peradilan. Pemanfaatan algoritma AI dalam sistem peradilan tidak lagi sebatas wacana futuristik, melainkan telah memasuki fase implementasi nyata di berbagai yurisdiksi. Algoritma machine learning digunakan untuk membantu menganalisis perkara, penelusuran preseden, hingga pengolahan alat bukti digital dalam jumlah masif. Di tengah beban perkara yang tinggi dan tuntutan efisiensi, AI dipandang sebagai instrumen pendukung yang mampu meningkatkan konsistensi dan kecepatan proses peradilan.
Salah satu inovasi yang paling kontroversial adalah AI Judges, di mana sistem AI digunakan untuk mengambil keputusan hukum dalam suatu perkara. Beberapa negara pun mulai menggunakan hal ini untuk menangani perkara ringan maupun membantu dalam proses administratif. Namun, dalam perspektif litigasi, penggunaan AI di pengadilan juga menimbulkan pertanyaan fundamental mengenai due process of law, independensi hakim, serta tanggung jawab profesional para penegak hukum. Ketergantungan berlebihan pada sistem algoritmik berisiko menggeser fungsi penilaian hukum yang seharusnya dilakukan manusia.
Memahami AI dalam Sektor Peradilan, Antara Efisiensi dan Ancaman Bias
Di berbagai negara, AI telah digunakan sebagai alat bantu pengambilan keputusan yudisial, mulai dari sistem prediksi putusan, rekomendasi hukuman, hingga manajemen perkara. Beberapa negara telah menguji coba konsep AI Judges. Di Belanda, sistem “Intelligent Justice” telah diuji coba untuk menganalisis kasus-kasus sederhana dan membantu dalam penjatuhan putusan yang konsisten. Sementara Estonia sempat mengembangkan robot judge untuk sengketa kecil, sementara China melalui Smart Courts menggunakan sistem “Xiao Fa” untuk menangani sengketa e-commerce.
Di Indonesia, wacana ini masih sebatas diskursus akademik. Artikel Kumparan menyoroti bahwa AI berpotensi mengurangi bias hakim, namun tetap menekankan perlunya pengawasan ketat agar nilai keadilan substantif tidak terabaikan. Gagasan mengenai “AI Judge” muncul dari asumsi bahwa algoritma mampu meminimalkan subjektifikasi manusia dan menghasilkan putusan yang lebih konsisten. Namun, dalam praktiknya, AI dikembangkan untuk menganalisis pola putusan terdahulu dan memberikan rekomendasi berbasis data historis.
Namun, pendekatan ini pun menuai kritik tajam. Algoritma pada dasarnya dibangun dari data masa lalu yang tidak steril dan bias struktural, sosial, maupun institusional. Apabila data yang dilatih mengandung kecenderungan diskriminatif, maka output AI pun akan berpotensi mereproduksi bias tersebut dalam bentuk yang lebih sistematis. Dalam litigasi, hal ini berujung pada pelanggaran asas persamaan di hadapan hukum dan hak atas peradilan yang adil.
Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) diatur bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kewajiban ini bersifat personal dan tidak dapat dialihkan sepenuhnya kepada sistem otomatis seperti AI.
Selain itu, dilansir dari laman HukumOnline, ditekankan bahwa AI lebih tepat diposisikan sebagai decision support system daripada pengganti hakim sepenuhnya. Hal ini sejalan dengan prinsip yang diamanatkan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) yakni:
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Hal ini juga diperkuat dalam Pasal 3 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa,
“Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.”
Dengan demikian, AI memang dapat digunakan untuk membantu mengefisiensi kerja untuk menghemat waktu di bidang peradilan, namun perannya hanya sebatas alat bantu administratif atau analitis, bukan pengganti pertimbangan yudisial.
Penggunaan AI dalam Analisis Bukti dan Penyusunan Klaim
Dalam praktik litigasi modern, AI banyak dimanfaatkan untuk analisis dokumen, e-discovery, dan pengolahan alat bukti digital. Sistem berbasis machine learning mampu menelusuri ribuan dokumen elektronik, email, rekaman komunikasi, atau data forensik digital dalam waktu singkat. Bagi jaksa maupun kuasa hukum, teknologi ini memberikan keunggulan strategis dalam mengidentifikasi pola, anomali, dan relevansi alat bukti.
Selain itu, AI juga digunakan untuk membantu penyusunan dokumen hukum, termasuk surat dakwaan, gugatan, atau legal memorandum. Dengan memanfaatkan basis data peraturan dan yurisprudensi, sistem AI dapat menyusun kerangka argumentasi hukum secara tepat. AI dapat membantu kuasa hukum menyusun klaim dengan lebih sistematis. Misalnya, sistem AI dapat mengekstrak klausul penting dari kontrak, membandingkan dengan dokumen serupa, dan memberikan rekomendasi strategi litigasi. Namun, peran verifikasi manusia tetap krusial agar hasil analisis tidak menyesatkan.
Di Indonesia, hal ini berkaitan dengan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menegaskan:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
KUHAP menegaskan bahwa alat bukti yang sah harus diperoleh dan diajukan sesuai prosedur hukum. Penggunaan AI dalam analisis bukti digital tidak menghapus kewajiban pembuktian keaslian, relevansi, dan keterkaitan alat bukti dengan unsur tindak pidana atau dalil gugatan. Apabila hasil analisis AI digunakan tanpa verifikasi manual, terdapat risiko cacat pembuktian yang dapat dimanfaatkan oleh pihak lawan dalam persidangan.
Salah satu tantangan terbesar penggunaan AI di pengadilan adalah isu transparansi dan akuntabilitas algoritmik. Banyak sistem AI bersifat “black box”, di mana proses pengambilan keputusan sulit dijelaskan secara rinci. Dalam litigasi, kondisi ini bertentangan dengan prinsip fair trial yang mensyaratkan setiap pihak memahami dasar pertimbangan yang memengaruhi putusan atau tindakan penegakan hukum.
Dalam konteks hukum acara pidana, hak terdakwa untuk mengetahui dan membantah alat bukti merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi undang-undang. Apabila jaksa mengandalkan hasil analisis AI tanpa mampu menjelaskan metodologi dan validitasnya, maka pembelaan terdakwa menjadi terhambat. Hal serupa berlaku dalam perkara perdata, di mana para pihak berhak mengetahui dasar argumentasi hukum yang diajukan lawannya.
Baca juga: Apa yang Perlu Dipahami Investor saat Menanam Modal di Perusahaan Startup berbasis AI?
Tanggung Jawab Profesional Jaksa dan Kuasa Hukum
Penggunaan AI oleh jaksa dan advokat tidak menghapus tanggung jawab profesional yang melekat pada masing-masing profesi. Dalam sistem hukum Indonesia, jaksa terikat pada prinsip kehati-hatian dan objektivitas dalam penuntutan, sedangkan advokat wajib menjunjung tinggi independensi dan integritas profesi. Setiap dokumen atau argumentasi yang diajukan ke pengadilan tetap dianggap sebagai produk profesional manusia, bukan mesin.
Kasus di Amerika Serikat menunjukkan seorang jaksa mengajukan motion berbasis AI yang ternyata tidak akurat. Di Australia, seorang pengacara dijatuhi sanksi karena menggunakan kutipan hukum palsu hasil AI dalam persidangan. Kedua kasus ini menegaskan bahwa tanggung jawab profesional tidak dapat dialihkan kepada teknologi. Kesalahan semacam ini tidak hanya merugikan klien, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Pada konteks hukum Indonesia, salah satu tanggung jawab profesional jaksa diatur dalam Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan”) yang menyatakan bahwa:
“Syarat untuk dapat diangkat menjadi jaksa adalah berintegritas, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.”
Sementara itu, tanggung jawab profesional kuasa hukum diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”), khususnya dalam Pasal 3 ayat (1) huruf i yang mengatur bahwa perilaku baik, jujur, bertanggung jawab, dan mempunyai integritas yang tinggi adalah syarat mutlak sejak awal jika seseorang ingin diangkat menjadi seorang advokat.
Jika jaksa mengandalkan AI tanpa verifikasi, maka berisiko dikenakan penjatuhan sanksi etik sebagaimana telah diatur dalam Pasal 91 Peraturan Kejaksaan Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kode Perilaku Jaksa dan Tata Cara Pemeriksaan atas Pelanggaran Kode Perilaku Jaksa (“PerJa 4/2024”) ataupun bahkan diberhentikan dari jabatannya karena tidak cakap dalam menjalankan tugas sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 12 huruf e UU Kejaksaan. Sedangkan apabila kuasa hukum mengandalkan AI tanpa verifikasi, maka mereka dapat dikenai sanksi etik maupun pidana atas kelalaian atau manipulasi bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Advokat yang dapat berupa:
- Teguran lisan;
- Teguran tertulis;
- Pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua belas) bulan;
- Pemberhentian tetap dari profesinya.
Jaksa sebagai aparat penegak hukum juga tunduk pada mekanisme pengawasan internal dan ketentuan disiplin. Oleh karena itu, penggunaan AI harus selalu disertai verifikasi independen dan pertanggungjawaban pribadi. Dari sudut pandang strategi litigasi, penggunaan AI tanpa kontrol dapat menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, AI meningkatkan efisiensi dan ketajaman analisis. Di sisi lain, kesalahan algoritmik atau data yang tidak akurat dapat dimanfaatkan oleh pihak lawan untuk menyerang kredibilitas argumentasi hukum. Hakim yang menemukan adanya rujukan palsu atau analisis keliru berpotensi menilai pihak yang bersangkutan tidak beritikad baik.
Lebih jauh, penggunaan AI dalam pengambilan keputusan yudisial tanpa dasar hukum yang jelas berpotensi membuka ruang pembatalan putusan melalui upaya hukum. Pelanggaran asas due process dan independensi hakim dapat dijadikan alasan kasasi atau peninjauan kembali. Dengan demikian, regulasi yang jelas mengenai batasan penggunaan AI di pengadilan menjadi kebutuhan mendesak. Tanpa kehati-hatian dan akuntabilitas, AI justru berpotensi menjadi sumber sengketa baru dalam sistem peradilan, alih-alih solusi atas persoalan yang ada.***
Baca juga: Etika dan Risiko terhadap Lonjakan Penggunaan Generatif AI bagi Investor di Indonesia
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”).
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”).
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”).
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan”)
- Peraturan Kejaksaan Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kode Perilaku Jaksa dan Tata Cara Pemeriksaan atas Pelanggaran Kode Perilaku Jaksa (“PerJa 4/2024”)
Referensi:
- Ai Judges, Masa Depan Peradilan. HukumOnline. (Diakses pada 15 Desember 2025 pukul 08.07 WIB).
- Penerapan dan Kritik atas Penggunaan Berbasis Teknologi Prinsip Predictive Justice di Pengadilan. MA RI News. (Diakses pada 15 Desember 2025 pukul 08.13 WIB).
- AI sebagai Hakim dapat Hilangkan Putusan Pengadilan yang Bias. Kumparan. (Diakses pada 15 Desember 2025 pukul 08.20 WIB).
- AI dalam Bidang Hukum. Ratu AI. (Diakses pada 15 Desember 2025 pukul 08.24 WIB).
- Penegak Hukum Gunakan Model ML untuk Analisis Bukti Digital. IHPCon. (Diakses pada 15 Desember 2025 pukul 08.40 WIB).
- California Prosecutors’ Office Used AI to File Inaccurate Motion in Criminal Case. The Guardian. (Diakses pada 15 Desember 2025 pukul 08.52 WIB).
