Kepastian hukum terkait aspek penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau arbitrase banyak diminati oleh kalangan dunia bisnis. Namun kepastian hukum atas pelaksanaan putusan arbitrase masih menjadi permasalahan tersendiri hingga saat ini. Hal ini disebabkan, pihak yang berkeberatan atas putusan arbitrase justru mengajukan pembatalan putusan tersebut ke pengadilan. 

Undang-undang Indonesia memang membuka peluang untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Namun ironisnya, yang kerap terjadi, dalil yang digunakan pemohon untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase ke pengadilan justru menyimpang dari ketentuan. Dampaknya kemudian adalah pelaksanaan putusan arbitrase menjadi tertunda. Jika hal ini terjadi akan memiliki dampak terhadap kepastian hukum terhadap proses arbitrase. 

Dikutip dari naskah berjudul,”Kepastian Hukum Eksekusi dan Pembatalan Putusan Arbitrase Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor PMK. 93/PUU-X/2012”, menyatakan bahwa Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase manakala terdapat alasan-alasan yang dapat dibenarkan menurut undang-undang. Putusan arbitrase itu dapat dibatalkan jika ditemukannya surat atau dokumen yang diajukan dalam proses pemeriksaan ternyata palsu, adanya dokumen yang disembunyikan oleh pihak lawan, dan adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa (Pasal 70 UU Arbitrase). 

Kepastian Hukum Arbitrase

Dalam sistem hukum Indonesia, putusan arbitrase memiliki kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan, yaitu memiliki kekuatan eksekutorial atau menggunakan upaya paksa dalam melaksanakan bunyi putusan, apabila ada pihak yang tidak berkenan melaksanakan bunyi putusan secara sukarela. Menurut Pasal 60 UU Arbitrase menegaskan bahwa ”putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak”. 

Dibandingkan dengan pengadilan biasa, upaya arbitrase memiliki keuntungan-keuntungan, diantaranya adalah, hemat waktu, biaya lebih murah, prosedur dan pembuktian lebih sederhana, para pihak dapat memilih sendiri para arbiter, dan keputusan bersifat final and binding (tanpa harus naik banding atau kasasi). 

Proses arbitrase tidak akan dapat berjalan dengan sempurna jika tidak didukung atau dibantu oleh badan peradilan, meskipun UU Arbitrase menyatakan bahwa “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa arbitrase. Pengadilan memang tidak berhak untuk mengadili sengketa para pihak, namun pengadilan mendukung berjalannya proses arbitrase. Peran pengadilan telah ada, bahkan sebelum proses arbitrase berlangsung, dan secara berkesinambungan tetap diperlakukan selama proses arbitrase berlangsung hingga putusan arbitrase dijatuhkan. 

Putusan MK 

Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase telah menimbulkan multitafsir, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa, penjelasan Pasal 70 bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. 

Dengan adanya putusan MK yang membatalkan penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase yang dianggap memberatkan dan merugikan banyak pihak, kini implikasinya bagi para pihak yang tidak puas terhadap putusan arbitrase mempunyai peluang yang lebar untuk dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase melalui pengadilan dengan catatan terdapat syarat yang limitatif yang harus terpenuhi yaitu adanya unsur dugaan Pasal 70 tanpa harus dibuktikan terlebih dahulu di Pengadilan.

Putusan MK Nomor 15/PUU-XII/2014 harus diapresiasi dan secepatnya direspon oleh pembentuk undang-undang untuk merevisi UU No. 30 Tahun 1999, terkait dengan mekanisme pembatalan putusan arbitrase setelah adanya putusan MK tersebut.

Baca Juga: Upaya Hukum Dalam Putusan Arbitrase