Surat Wasiat adalah istilah yang seringkali kita dengar, yang dipahami sebagai pesan dari seseorang yang telah meninggal dan biasanya berhubungan dengan harta yang ditinggalkan. Mungkin ada yang belum memahami, bahwa Surat Wasiat adalah pesan yang memiliki implikasi hukum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal 875 KUHPerdata menyebutkan, kekuatan hukum Surat Wasiat atau testamen adalah sebuah akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.

Surat Wasiat dapat dibuat setiap orang yang telah dianggap dewasa dan cakap hukum. Hal ini telah diatur dalam Pasal 897 KUHPerdata bahwa surat wasiat tidak bisa dibuat oleh seseorang yang belum berusia 18 tahun dan tidak diperkenankan untuk membuat surat wasiat. Pada umumnya, seseorang membuat Surat Wasiat sebelum ia meninggal dunia dengan tujuan untuk menghindari para ahli waris dari perselisihan terkait harta peninggalan pewaris. Pemberlakuan surat wasiat ini akan mulai berlaku ketika pewaris telah meninggal dunia.

Berdasarkan Pasal 931 KUHPerdata, Surat Wasiat terbagi dalam  3 jenis, yakni: 

  1. Akta Olografis yang dibuat dengan tulisan tangan dan ditandatangani oleh pewaris, serta dititipkan kepada notaris untuk disimpan (Pasal 932 KUHPerdata)
  2. Akta Umum, yakni yang disusun di hadapan notaris dan 2 orang saksi (Pasal 938 KUHPerdata)
  3. Akra Rahasia, yang  dibuat oleh pewaris dengan penetapan dan ditandatangani oleh pewaris. Wasiat ini dapat ditulis oleh pewaris atau meminta bantuan  orang lain untuk menuliskannya. Nantinya, Surat Wasiat ini harus tertutup dan disegel (Pasal 940 KUHPerdata)

Dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 60 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelaporan Wasiat dan Permohonan Penerbitan Surat Keterangan Wasiat secara Elektronik, notaris wajib membuat daftar akta atau daftar nihil terkait wasiat yang nantinya wajib dilaporkan ke Daftar Pusat Wasiat. Dalam hal ini, notaris bertanggung jawab terkait segala kebenaran data milik orang yang membuat wasiat (pewasiat).

Selanjutnya, apa syarat yang harus dipenuhi agar Surat Wasiat sah secara hukum dan pesannya bisa direalisasikan sesuai dengan pesannya ? 

  1. Surat wasiat dibuat oleh seseorang yang berakal dan telah cakap hukum
  2. Ada objek wasiat dalam bentuk harta peninggalan
  3. Terdiri atas suatu akta yang memuat keinginan pewaris setelah ia meninggal dunia dan ditandatangani oleh pewaris
  4. Ada penerima wasiat
  5. Notaris dan saksi yang terlibat dikenal oleh pewaris
  6. Akta dibuat berdasarkan ketentuan hukum peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
  7. Apabila menggunakan jasa dari notaris, maka wajib melakukan pembayaran 

Setelah mengetahui syarat terpenuhinya Surat Wasiat, maka yang tak kalah penting adalah terkait alat pembuktiannya,  sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Dijelaskan, alat pembuktian yang sah pada perkara perdata mencakup bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. M. Natsir Asnawi dalam bukunya yang berjudul Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia menyebutkan bahwa alat bukti tertulis terdiri dari berbagai unsur, yakni terdapat tanda baca, terdiri atas ide, gagasan, atau argumen dari penulis dan digunakan sebagai pembuktian.

Pendapat lainnya tentang kekuatan hukum Surat Wasiat disampaikan M. Yahya Harahap, bahwa segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut sebagai akta di bawah tangan. Dalam segi hukum, tulisan yang disebut akta di bawah tangan harus memenuhi syarat, surat atau tulisan yang ditandatangani terkait perbuatan hukum yang dibuat dengan sengaja untuk tujuan sebagai bukti dari perbuatan hukum.

Terkait Surat Wasiat yang disimpan oleh notaris, bisa dinyatakan sah sebagai alat bukti yang kuat. Akan tetapi, belum tentu Surat Wasiat yang tidak disimpan oleh notaris tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti di mata hukum. Artinya, selama Surat Wasiat memenuhi persyaratan, maka keabsahannya bisa dijadikan sebagai alat bukti dalam persidangan. 

Perkara gugatan Surat Wasiat pernah terjadi di Kabupaten Bantaeng pada tahun 2015 dimana penggugat berinisial B melawan tergugat dengan inisial S, J,Ram, Raj, A, dan H. Kasus bermula ketika Almarhum HJ B (pewaris) yang telah didaftarkan pada Kantor Notaris Syahrir Amri, SH pada  10 Agustus 2015. Isi Surat Wasiat tersebut adalah pemberian hibah wasiat milik pewaris kepada Masjid Nurul Ikhlas yang beralamat di Barua, Kecamatan Eremerasa, Kabupaten Bantaeng. Surat Wasiat diwakilkan kepada penggugat berupa uang sebesar Rp200.000.000 yang tersimpan dalam tabungan dengan nomor rekening milik pewaris.

Seluruh tabungan milik pewaris telah dicairkan oleh tergugat berinisial Raj, namun hingga gugatan diajukan, wasiat belum juga dipenuhi oleh para tergugat. Surat Wasiat yang dibuat Alm HJ B dinyatakan memiliki legalitas dan sah secara hukum. Kemudian para hakim menyatakan, tergugat dihukum atas perbuatannya yang belum melaksanakan isi dari wasiat yang ditulis oleh pewaris. Apabila tergugat tidak kunjung melaksanakan isi putusan, maka harta para tergugat akan dilelang dan hasil dari lelang tersebut diserahkan kepada penggugat sesuai dengan isi putusan. Tak hanya itu, para tergugat pun dihukum untuk membayar biaya perkara.

Dari uraian dan contoh di atas bisa disimpulkan, bahwa Surat Wasiat memiliki kekuatan hukum dan diakui keabsahannya oleh negara jika memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Surat Wasiat biasanya ditulis dengan tujuan untuk menghindari sengketa terutama soal harta yang ditinggalkan pembuat surat. Selain itu, juga untuk memastikan pesan dari pembuat Surat Warisan bisa dilaksanakan oleh keluarga / lingkungannya. 

Baca Juga: Syarat dan Prosedur Perwalian Anak Menurut Hukum

Sumber: