Kejahatan seksual anak di dunia maya kerap terjadi di tengah perkembangan teknologi komunikasi dan informasi (internet). Anak-anak menjadi salah satu sasaran para pelaku kejahatan seksual dengan memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana tindakan pelecehan maupun eksploitasi seksual terhadap anak. 

Penyebab terjadinya kejahatan seksual di dunia maya dapat dipengaruhi sejumlah faktor, antara lain kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua/keluarga, kurangnya pengawasan orang tua, pengaruh media pornografi, pengaruh lingkungan, dan kekuasaan pelaku yang lebih besar dari korban. 

Dalam menjalankan aksinya para pelaku umumnya memanfaatkan platform media sosial, seperti WhatsApp, Facebook, Facebook Messenger, dan aplikasi komunikasi lainnya. Modus yang dilakukan pada pelaku pun beragam mulai dari mengirimkan konten seksual kepada korban dan mengiming-imingi korban dengan sejumlah uang atau hadiah jika bersedia memberikan konten seksual. 

Bentuk Kejahatan Seksual Anak di Dunia Maya 

  1. Child Grooming

Pelaku kejahatan ini akan membangun hubungan pertemanan dan menciptakan suasana yang nyaman bagi korban. Hingga akhirnya korban merasa terikat secara emosional dan mungkin memiliki hubungan romantis dengan pelaku, di saat itulah pelaku siap melakukan aksi kejahatannya, yakni mengeksploitasi korban secara seksual dengan meminta foto dan video sesual, yang akan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Lebih jahatnya lagi, konten tersebut dijual kepada sesama pelaku kejahatan lainnya.

  1. Child Sexual Abuse

Pelaku kejahatan seksual memanfaatkan foto atau video yang diunggah anak di media sosial untuk aktivitas seksualnya. Pelaku menyebarkan konten foto dan video tersebut melalui berbagai platform yang terkadang sulit untuk dilacak maupun di-take down. Penerima pesan/gambar yang tidak bertanggung jawab dapat berubah menjadi pelaku kejahatan eksploitasi seksual anak dengan menyebarkan pesan/gambar tersebut untuk keuntungan pribadinya.

  1. Sexting

Kejahatan ini berupa pembuatan pembagian gambar sensual anak yang didapat melalui gadget atau media sosial. Sexting bisa merupakan inisiatif sendiri atau permintaan/tekanan yang dialami anak dari pelaku kejahatan seksual.

  1. Live Streaming of Child Sexual Abuse

Pelaku kejahatan seksual ini dengan sengaja menyebarkan tindakan kekerasan seksual terhadap anak melalui streaming di platform media sosial. Siaran langsung (live streaming) tindakan penganiayaan/pelecehan seksual terhadap anak dapat terjadi pada chat rooms online, platform sosial media maupun aplikasi untuk berkomunikasi (dengan fitur video chat).

Jerat Hukum Bagi Pelaku Seksual Anak di Dunia Maya 

Saat ini, setidaknya terdapat 3 undang-undang yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana eksploitasi seksual anak secara online, yaitu: Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik dan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Dalam UU Perlindungan Anak, pelaku kejahatan seksual pada anak mendapat ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimum Rp200 juta. Namun UU Perlindungan anak belum mengakomodir hukuman bagi pelaku yang melakukan tindakan eksploitasi seksual anak secara online. 

Kemudian, muncullah pasal-pasal dalam UU ITE, salah satunya Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Pasal ini untuk menjerat pelaku yang melakukan kejahatannya dengan menggunakan sarana teknologi komunikasi dan informatika. Begitu pula dengan UU Pornografi, beberapa pasal dirancang untuk secara khusus melindungi anak dari eksploitasi seksual, dengan pidana penjara 10 tahun dan denda Rp5 miliar. Deretan pasal-pasal di atas dapat menjadi senjata untuk melawan pelaku eksploitasi seksual anak secara online.

Baca Juga: Tips, Ancaman Hukuman dan Perlindungan Merek di Era Digital