Dalam penyelesaian perkara melalui arbitrase, keberadaan saksi ahli cukup diperhitungkan. Saksi ahli adalah seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan maupun pengalaman dalam mengatasi perkara yang berkaitan dengan ilmu yang dimiliki dalam sebuah persidangan.

Saksi ahli lebih dikenal dalam perkara perdata sebagaimana dijelaskan pada Pasal 154 HIR, sementara pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya mengenal istilah keterangan ahli.  Sementara itu, pada perkara pidana, saksi ahli dibutuhkan sebagai keterangan ahli yang bisa diajukan oleh tersangka atau terdakwa guna memberi keterangan yang dapat memberi keuntungan bagi dirinya.

Dalam perkara arbitrase, saksi ahli berarti seseorang yang memahami persoalan khusus terkait pokok sengketa. Dasar hukum keberadaan saksi ahli adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 37 ayat (3) yang menjelaskan, “Pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata”.

Dalam Pasal  49 ayat (1) diterangkan, arbiter atau majelis arbitrase dapat memanggilnya atas permintaan para pihak untuk didengarkan keterangannya. Dan Pasal 50 ayat (1) menjelaskan, arbiter atau majelis arbitrase dapat meminta bantuan seorang atau lebih saksi untuk memberikan keterangan tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan pokok sengketa.

Selanjutnya Pasal 50 ayat (3) menjelaskan, arbiter atau majelis arbitrase meneruskan salinan keterangan tersebut kepada para pihak agar dapat ditanggapi secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Kemudian ayat (4) menjelaskan, apabila terdapat hal yang kurang jelas, atas permintaan para pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang bersangkutan dapat didengar keterangannya di muka sidang arbitrase dengan dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.

Arbiter senior Junaedy Ganie mengatakan, dalam penyelesaian sengketa arbitrase forensic expert seharusnya dihadirkan sebagai Ahli, bukan sebagai Saksi Fakta. “Sebagai pihak yang dipekerjakan untuk menilai suatu keadaan berdasarkan keahliannya setelah timbul kejadian yang menjadi penyebab terjadinya sengketa, tidak ada pilihan yang tepat selain mendudukan forensic expert sebagai Ahli. Secara jelas, forensic expert tidak memenuhi definisi Saksi Fakta di atas,” ungkapnya seperti dilansir dari hukumonline. 

Junaedy menambahkan, demikian juga dengan loss adjuster yang dihadirkan dalam suatu persidangan arbitrase sebagai Ahli, bukan sebagai Saksi Fakta. Mereka dipekerjakan untuk menilai suatu keadaan setelah kejadian, misalnya tentang penyebab kebakaran, menghitung jumlah kerugian.

Loss adjuster tidak melihat, mengetahui atau terlibat apapun sewaktu kejadian terjadi, misalnya tidak mengetahui langsung jam berapa kebakaran timbul, berapa lama kebakaran berlangsung dan bagaimana kronologisnya, dari mana sumber api muncul, bagaimana proses pemadaman kebakaran berlangsung”, ungkapnya.

Junaedy menjelaskan, penilaian loss adjuster atas keadaan yang telah terjadi (post factum) berdasarkan keahliannya belum merupakan suatu kebenaran yang mutlak, dapat berbeda dengan pendapat ahli yang lain, tergantung tingkat keahlian, pengalaman dan kehati-hatian masing-masing ahli.

Jadi kehadiran tenaga ahli pendukung seperti forensic expert dan ahli-ahli lain diperlukan terutama untuk suatu kejadian yang bersifat kompleks atau ketika loss adjuster yang ditunjuk memiliki keterbatasan, baik dalam keahlian maupun ketersediaan waktunya (availability).

Oleh karena itu pendapat ahli tersebut dapat diperdebatkan, dipertimbangkan atau dikesampingkan oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa perkara.

Baca Juga: Kepastian Hukum Putusan Arbitrase di Indonesia