Dalam perkembangan hukum di Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menegaskan pentingnya prinsip konstitusional dalam menafsirkan norma hukum warisan kolonial yang tak lagi sesuai dengan dinamika masyarakat modern. Hal ini tercermin dalam Putusan MK Nomor 83/PUU-XXII/2024 (“Putusan MK 83/PUU-XXII/2024”) yang dibacakan pada tanggal 3 Januari 2025, yang memutus permohonan uji materiil terhadap Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”)—norma yang selama ini dijadikan dasar perusahaan asuransi dalam membatalkan polis secara sepihak, tanpa mekanisme yudisial.

Permohonan ini diajukan oleh Maribati Duha, seorang peternak asal Nias Selatan yang merasa hak atas keadilan konstitusional tersebut dilanggar oleh pemberlakuan pasal tersebut. MK menilai Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana terakhir diubah melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2020 (“UU MK”) dan Pasal 4 ayat (2) huruf a Peraturan MK No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. 

Pemohon mengalami kerugian aktual atau setidak-tidaknya potensial kerugian atas diberlakukannya Pasal 251 KUHD, yang memberikan perlindungan kepada penanggung (perusahaan asuransi) untuk membatalkan polis tanpa prosedur yang adil kepada tertanggung untuk menyampaikan pembelaannya di hadapan hukum. Hal ini melanggar asas due process of law. Lebih jauh, Pasal 251 KUHD dipandang bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menjadikan Indonesia sebagai negara hukum. Norma a quo membuka ruang terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) oleh penanggung.

Mahkamah Konstitusi, dalam pertimbangannya, mengakui adanya ketimpangan struktural antara tertanggung dan penanggung, mengingat klausula asuransi seringkali bersifat standar dan tak bisa dinegosiasikan oleh tertanggung. MK menekankan pentingnya prinsip itikad baik secara timbal balik dalam kontrak asuransi, sebagaimana juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (“UU Perasuransian”).

Menurut MK, apabila terdapat perselisihan di antara para pihak dalam perjanjian, hal tersebut merupakan perselisihan/sengketa para pihak (contentiosa/interparties) yang penyelesaiannya terlebih dahulu ditempuh melalui upaya kesepakatan kedua belah pihak atau melalui mediasi.

Apabila upaya penyelesaian tersebut tidak tercapai, untuk memberikan penilaian terhadap ada tidaknya hal-hal yang keliru atau disembunyikan sekalipun dengan iktikad baik berkaitan dengan pihak tertanggung, secara adil dan objektif dalam perjanjian asuransi untuk dapat dinyatakan batal, menurut MK harus dilakukan oleh pengadilan yang secara keadilan konstitusional sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang diberi wewenang menyelesaikan setiap perkara dalam ranah keperdataan (private) sebagai upaya penyelesaian terakhir (the last resort).

MK berpendapat perlu memberikan penegasan dan pemaknaan terhadap norma ketentuan Pasal 251 KUHD. Penegasan norma Pasal 251 KUHD dimaksud diperlukan dikarenakan norma tersebut tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Terlebih, norma Pasal 251 KUHD merupakan produk hukum pemerintah kolonial Belanda yang telah tertinggal sehingga tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum saat ini.

Dengan demikian, menurut MK untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap norma Pasal 251 KUHD harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung atau berdasarkan putusan pengadilan”.

Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, MK memutus dengan amar sebagai berikut:

“Mengadili

  • Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian
  • Menyatakan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung atau berdasarkan putusan pengadilan”; Pasal 251 KUHD harus dimaknai dengan prinsip itikad baik dan perlindungan hukum bagi tertanggung
  • Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
  • Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.”

Putusan ini mengandung nilai transformasional dalam dunia hukum asuransi nasional karena telah menggeser praktik pembatalan sepihak yang selama ini terjadi. Selain itu, putusan tersebut memberikan jaminan keadilan konstitusional bagi tertanggung untuk mendapatkan haknya melalui proses hukum yang adil. Putusan tersebut juga menegaskan peran pengadilan sebagai pilar kekuasaan kehakiman dalam penyelesaian proses tersebut.***

Baca juga: Tugas dan Wewenang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

Daftar Hukum:

Author / Contributor:

IkraFitri Isni Ridha, S.H.
AssociateContact:

Mail       : @siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975