Menurut Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan terkait suatu perkara pidana. Saksi memberikan keterangannya terkait apa yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri. 

Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 27 KUHAP. Selanjutnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 65/PUU-VIII/2010 telah memperluas pengertian saksi yang tidak hanya orang yang mendengar, melihat, atau mengalaminya sendiri. 

MK menyatakan bahwa setiap orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana tidak selalu mendengar, melihat, dan mengalami sendiri suatu peristiwa tindak pidana. 

Keabsahan Alat Bukti CCTV 

Menurut Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Seperti sudah disinggung di atas bahwa keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana. Selain itu, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa juga merupakan bukti sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. 

Namun seiring perkembangan teknologi telah membawa dampak terhadap tatanan sistem hukum Indonesia, khususnya terkait alat bukti dalam rangka proses penyelidikan, penyidikan dan diajukan dalam persidangan menggunakan alat bukti elektronik khususnya rekaman sistem kamera pengawas atau Closed Circuit Television/CCTV. 

Alat bukti elektronik berupa rekaman CCTV merupakan perluasan dari alat bukti yang ditentukan oleh KUHAP untuk mengungkap terjadinya suatu peristiwa tindak pidana khususnya terkait pembuktian di persidangan. Keberadaan rekaman CCTV sebagai alat bukti tertuang dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Pasal-pasal di atas menyatakan bahwa CCTV dapat menjadi alat bukti yang sah selama rekaman CCTV atau dokumen elektronik tersebut memiliki keterkaitan antara suatu peristiwa pidana yang terjadi serta antara keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.

Sedangkan Pasal 5 ayat (4) UU ITE mengatur syarat formil dan materil agar informasi dan dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Di mana pasal ini berbunyi, syarat formil informasi atau dokumen elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis.

Sebagai syarat materil, dokumen elektronik yang dijadikan alat bukti harus dijamin keotentikannya, keutuhannya, ketersediaannya, serta memenuhi persyaratan sebagaimana diatur oleh undang-undang.

Kesimpulan 

Rekaman dari sistem kamera pengawas atau CCTV bisa menjadi alat bukti hukum yang sah dalam proses penyelidikan dan penuntutan terkait suatu peristiwa tindak pidana. Pengaturan alat bukti tidak terdapat di KUHAP, namun pengaturannya diatur secara khusus dalam UU ITE, sebagaimana asas lex specialis derogat legi generali

UU ITE telah mengatur adanya syarat formil dan materil agar informasi dan dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Alat bukti dokumen elektronik harus dijamin keotentikannya, keutuhannya, ketersediaannya, serta memenuhi persyaratan sebagaimana diatur oleh undang-undang.

Baca Juga: Regulasi Teknologi di Indonesia Serta Prospek dan Tantangannya