Judicial review atau hak uji materi adalah proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi oleh lembaga peradilan. Kewenangan judicial review diberikan kepada lembaga yudikatif sebagai kontrol bagi kekuasaan legislatif dan eksekutif yang berfungsi membuat undang-undang.

Hakim Konstitusi Indonesia Maruarar Siahaan mengatakan, judicial review terbagi dua, yaitu objek yang berupa isi (bunyi pasal-pasal) dari sebuah peraturan perundang-undangan (material law) dan objek yang berupa prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan (formal law). 

Menurutnya, jika sebuah permohonan pengujian memohonkan uji terhadap objek material dan objek formal, maka yang harus dibuktikan di depan hakim adalah objek formilnya terlebih dahulu. Jika objek formilnya atau prosedur pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan telah bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, maka otomatis seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan (termasuk objek materil) tersebut dianggap telah bertentangan dengan peraturan hukum yang lebih tinggi.

Di Indonesia, judicial review dilaksanakan oleh dua institusi penegak hukum yakni Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Meski sama-sama berwenang melakukan judicial review, namun kedua lembaga ini memiliki lingkup kewenangan yang berbeda.

MK memiliki kewenangan menjalankan judicial review atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sementara MA berwenang melakukan judicial review atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

Menurut Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, MA berwenang antara lain menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang, antara lain mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

Pasal 24A ayat 1 dan Pasal 24C ayat 1 diperkuat dengan Pasal 9 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan yang menyatakan,

  1. Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi; dan
  2. Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Lantas siapa saja pihak yang memiliki hak untuk mengajukan judicial review ? Pihak yang memiliki hak mengajukan judicial review adalah siapa saja yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh undang-undang yang berlaku. Mereka adalah warga negara Indonesia perorangan, masyarakat, lembaga hukum publik atau privat dan lembaga negara.

Data yang dirilis MK menyebutkan, sepanjang tahun 2022, permohonan yang dikabulkan sebanyak 143 permohonan judicial review undang-undang, sebanyak 124 perkara telah diputus dan hanya 15 yang dikabulkan. Sejak 2003 hingga 2022 MK telah meregister 3.463 perkara. Sebanyak 3.444 perkara telah diputus.

Dari 124 perkara yang diputus terdapat kasus yang mendapatkan perhatian masyarakat yang didominasi masalah pemilu yakni, putusan presidential threshold yang dinyatakan konstitusional oleh MK, diferensiasi verifikasi faktual parpol peserta Pemilu 2024, tindak lanjut putusan DKPP dapat digugat di pengadilan TUN, nantan napi psikotropika dapat maju dalam pilkada, penentuan dapil dan alokasi kursi merupakan wewenang KPU, kewenangan memutus sengketa hasil pilkada merupakan kewenangan MK dan Ganja untuk medis diperlukan riset dan kajian. 

Selain itu, perkara periode jabatan ketua dan wakil ketua MK sampai dengan masa jabatannya berakhir, konstitusionalitas batas usia pensiun prajurit TNI, pemotongan masa jabatan kepala daerah karena pelaksanaan pemilu serentak, uji formil Undang-undang Ibu Kota Negara, aturan pencatatan perkawinan oleh pengadilan bagi pernikahan beda agama dan putusan tentang pertanggungjawaban penyelenggara jalan yang multitafsir di dalam UU LLAJ juga mendapatkan perhatian masyarakat.

Dalam catatan MK, terdapat empat undang-undang yang berulang kali diajukan pengujian materi yakni Undang-undang Pemilu sebanyak 25 kali, Undang-undang IKN sebanyak 10 kali, undang-undang pilkada sebanyak 7 kali, dan KUHAP sebanyak 4 kali.

Baca Juga: Praktik Nepotisme dalam Hukum Administrasi Negara