Transisi menuju energi bersih dan terbarukan (EBT) merupakan salah satu pendekatan strategis pemerintah dalam mencapai target bauran EBT pada tahun 2025, yakni sekitar 17% hingga 19%. Demi mencapai target tersebut dibutuhkan tindakan nyata dari pemerintah terhadap sektor energi, salah satunya adalah dengan merevisi regulasi sebelumnya yang diasumsikan sudah tidak sesuai dengan realitas masa kini.
Oleh karena itu, diundangkannya Permen ESDM 5/2025 yang telah menggantikan Permen ESDM 10/2017 dan Permen ESDM 10/2018 menjadi langkah penting dari pemerintah untuk memperkuat landasan hukum terhadap percepatan transisi energi di Indonesia, khususnya mengenai kegiatan jual beli listrik berbasis EBT.
Dasar Hukum dan Perubahannya
Pada 4 Maret 2025 pemerintah melalui Kementerian Hukum telah mengundangkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan (“Permen ESDM 5/2025”) sebagai implementasi dari amanah dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik (“Perpres 112/2022”).
Dengan ini, Permen ESDM 5/2025 telah menjadi regulasi yang secara resmi mengatur terkait pedoman Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) pembangkit tenaga listrik berbasis EBT dan ditetapkan sebagai pengganti dari regulasi terdahulu, yakni Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (“Permen ESDM 10/2017”) sebagaimana diubah ke Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (“Permen ESDM 10/2018”). Dengan diundangkan Permen ESDM 5/2025, maka secara resmi mencabut regulasi terdahulu, yakni Permen ESDM 10/2018 dan Permen ESDM 10/2017.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Permen ESDM 5/2025, perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL) merupakan perjanjian jual beli tenaga yang dilakukan oleh Pengembang Pembangkit Listrik (PPL) dengan PT. PLN selaku satu-satunya perusahan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mendistribusikan energi listrik di seluruh wilayah Indonesia.
Pelaksanaan PJBL berbasis EBT tidak hanya mengatur secara teknis terkait kapasitas dan penyediaan energi, melainkan juga terkait jangka waktu PJBL sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Permen ESDM 5/2025 yang menyatakan bahwa:
“PJBL dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak terlaksananya COD dan dapat diperpanjang tanpa memperhitungkan biaya investasi awal.”
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Permen ESDM 5/2025 sebagaimana telah dijelaskan di atas telah menggantikan ketentuan sebelumnya yang mana dalam Pasal 4 ayat (1) Permen ESDM 10/2017 hanya menetapkan jangka waktu 30 tahun terhadap PJBL dan hanya mengatur terkait perpanjangannya apabila terjadi keadaan kahar (force majeur) sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (3) dan ayat (4).
Berakhirnya PJBL
Meskipun pemerintah telah mengatur bahwa PJBL memiliki jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang, akan tetapi PJBL yang telah disepakati bisa saja berakhir karena suatu hal tertentu sebagaimana hal ini diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Permen ESDM 5/2025 yang berbunyi:
“PJBL berakhir apabila:
- Jangka waktu PJBL berakhir;
- Pengakhiran oleh salah satu pihak karena cidera janji (wanprestasi);
- Tidak dapat tercapai pendanaan;
- PPL pailit atau dilikuidasi;
- Keadaan kahar; dan/atau
- Ketentuan dan kondisi lain yang disepakati para pihak yang tercantum dalam PJBL.”
Berdasarkan ketentuan pada Pasal 25 ayat (1) Permen ESDM 5/2025 di atas, maka dari itu dapat dikatakan bahwa bisa saja PJBL yang telah disepakati sewaktu-waktu berakhir, meskipun kesepakatan tersebut belum terlaksana sesuai dengan jangka waktu PJBL, yakni 30 tahun.
Baca juga: Pentingnya Kampanye EBT untuk Dorong Penggunaan Energi Bersih di Indonesia
Dampak Hukum dan Ekonomi terhadap Jangka Waktu PJBL
Jangka waktu PJBL tenaga listrik berbasis EBT yang diberikan hingga 30 tahun dan dapat diperpanjang memberikan berbagai dampak hukum maupun ekonomi. Adapun hal tersebut akan dijelaskan oleh beberapa hal berikut:
- Dampak Hukum
Hal yang sangat terasa yang disebabkan oleh panjangnya jangka waktu yang diberikan terhadap PJBL berbasis EBT bagi hukum di Indonesia adalah terciptanya kepastian hukum yang semakin kuat didukung oleh regulasi yang semakin berpihak pada ketahanan energi nasional. Selain itu, PJBT berkepanjangan dapat memperkuat kedudukan kontrak antara PPL dengan PT. PLN karena perpanjangan didasari atas norma hukum yang berlaku, bukan sekedar kesepakatan bisnis.
- Dampak Ekonomi
Kepastian merupakan hal pokok dan krusial terhadap pengembangan dan penguatan bisnis. Hal tersebut dikarenakan kepastian hukum memberikan kejelasan terhadap keberlanjutan bisnis dan merupakan fondasi utama yang memberikan keamanan bagi pelaku usaha maupun investor. Melalui kejelasan regulasi tersebut, pelaku usaha berpeluang merencanakan strategi terhadap perekonomian secara lebih panjang, sehingga berpotensi meningkatkan minat dan keberanian bagi investor untuk menanamkan modal pada sektor EBT. Tak hanya itu, kejelasan pun dapat memberikan dampak positif terhadap stabilitas investasi karena memberikan jaminan terhadap pengembalian modal yang lebih terukur.
Diundangkannya Permen ESDM 5/2025 merubah ketentuan terkait jangka waktu PJBL. Dari yang semula hanya diberi jangka waktu 30 tahun tanpa perpanjangan (kecuali dalam keadaan force majeure), kini menjadi 30 tahun dan dapat diperpanjang. Meskipun demikian, namun para pihak yang mengadakan kesepakatan perjanjian tersebut tetap harus berhati-hati karena bisa saja perjanjian tersebut berakhir karena didasari atas berbagai alasan, salah satunya karena salah satu pihak wanprestasi. Berkaitan dengan hal tersebut, adanya perubahan ketentuan mengenai perpanjangan jangka waktu PJBL berbasis EBT memberikan dampak hukum dan ekonomi yang signifikan terhadap keberlanjutan investasi dan stabilitas nasional, seperti penguatan regulasi dan stabilitas investasi pada sektor EBT. Oleh karena itu, melalui mekanisme hukum yang jelas, perpanjangan jangka waktu PJBL berbasis EBT diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat agar menciptakan stabilitas nasional dan iklim investasi berkelanjutan.***
Baca juga: Percepatan Transisi Energi Melalui Pemanfaatan EBT pada Infrastruktur Publik dan Swasta
Daftar Hukum:
- Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pedoman Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dari Pembangkit Tenaga Listrik yang Memanfaatkan Sumber Energi Terbarukan (“Permen ESDM 5/2025”)
- Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (“Permen ESDM 10/2018”).
- Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (“Permen ESDM 10/2017”)
- Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik (“Perpres 112/2022”)
Referensi:
- Prabowo Rilis Kebijakan Energi Nasional, EBET Ditargetkan 23% di 2030. CNBC Indonesia. (Diakses pada 24 Oktober 2025 Pukul 13.15 WIB).
 
 
