Kosmetika sebagaimana penjelasan dari Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 1175/MENKES/PER/ VIII/2010 adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik. Seluruh produk kosmetika yang beredar di pasaran harus memenuhi persyaratan izin produksi kosmetik terkait mutu, keamanan, dan kemanfaatannya. Pemerintah telah membuat regulasi untuk menjamin keamanan pengguna kosmetik khususnya dari sisi kesehatan.
Dalam bisnis kosmetika dikenal istilah kosmetik lisensi yakni produk kosmetik yang diproduksi di wilayah Indonesia atas dasar penunjukan atau persetujuan tertulis dari pabrik induk di negara asalnya. Produk kosmetika dibuat oleh industri yang memiliki perizinan resmi dari Kementerian Kesehatan dan telah terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Permenkes Nomor 1175/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika telah mengatur mutu, keamanan, dan kemanfaatan kosmetika. Pada Pasal 4 disebutkan, industri kosmetika yang akan membuat kosmetika harus memiliki izin produksi.
Untuk mengurus perizinan produksi kosmetika, dokumen apa saja yang dibutuhkan?
Pertama, KTP jajaran komisaris, direksi, dan/atau pimpinan perusahaan
Kedua, NPWP
Ketiga, Surat pernyataan komisaris, direksi, dan/atau pimpinan perusahaan yang tidak pernah terlibat tindak pidana khususnya di bidang kosmetika.
Keempat, Kelima, Sertifikat CPKB/Rekomendasi penerapan CPKB/ Surat izin produksi kosmetika dan surat pernyataan penerapan CPKB.
Keenam, SIUP/NIB atas badan usaha
Ketujuh, Surat pernyataan hak atas merek, sertifikat atau formulir pendaftaran merek jika ada.
Kosmetika yang beredar harus memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan. Seperti yang telah tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1175/Menkes/Per/Viii/2010 bahwa “Pembuatan kosmetika hanya dapat dilakukan oleh industri kosmetika” dan dijelaskan kembali pad Pasal 4 Bahwa “(1) Industri kosmetika yang akan membuat kosmetika harus memiliki izin produksi. (2) Izin produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Direktur Jenderal”
Dalam ketentuan terkait izin produksi kosmetik memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 Jo. Pasal 106 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagaimana diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja bisa terkana ancaman pidana penjara paling lama 15 Tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Selain itu, memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 Jo. Pasal 98 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang–Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan termasuk tindak kejahatan dan bisa diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sementara itu, memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) Jo. Pasal 8 Ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tindak kejahatan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.
Baca Juga: Napza dalam Perspektif Hukum dan Agama